REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Partai Gerindra menempati peringkat ketiga di pemilihan legislatif (Pileg) pada 9 April lalu, dengan torehan sekitar hampir 12 persen. Padahal, di Pemilu 2009, Gerindra hanya mendapat 4,6 persen.
Salah satu faktor yang membuat Gerindra bisa menempati urutan tiga besar adalah lantaran adanya Prabowo Effect. Sayangnya, efek Prabowo tidak selalu positif. Kondisi itu terlihat dari kegagalan Ketua Umum (Ketum) Gerindra Suhardi lolos ke Senayan.
Pengamat politik dari POINT Indonesia, Karel Susatyo mengatakan, Suhardi sebenarnyasosok yang ramah, jujur dan memiliki integritas tinggi. Tetapi, Suhardi bukan seorang politisi tangguh dan terkesan hanya sebagai administrator di internal partai.
"Ini uniknya Gerindra. Suara naik sampai tujuh persen tapi ketumnya gagal ke senayan untuk kedua kalinya. Pasti masalahnya ada pada kapasitas dan kapabilitas yang minim dari seorang Suhardi sebagai politisi," ujar Karel di Jakarta.
Dia menganalisis, bisa jadi kegagalan Suhardi juga berkat label menjadi orang dekat Prabowo Subianto. isu pelanggaran HAM yang kerap diarahkan ke ketua Dewan Pembina Gerindra tersebut diprediksi memiliki pengaruh di pemilih kelas menengah.
Itu lantaran Suhardi maju dari daerah pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dikenal cerdas dalam mengamati dan mencatat perilaku seseorang. Sepertinya jejak sejarah itu membekas betul di benak masyarakat Yogyakarta. Dampaknya, masyarakat pun menghukum Suhardi, yang dikenal dekat dengan Prabowo.
"Makanya kalau dia bisa jelaskan posisi dia dalam pelanggaran HAM secara terbuka kepada publik itu bagus. Kalau publik anggap dia tak terlibat maka dia bisa banjir dukungan," katanya.
Dia mengingatkan, Prabowo pernah berjanji ketika bertemu Ketua Umum DPP Pepabri Agum Gumelar pada pertengahan bulan lalu, yang siap dimintai keterangan terkait kasus 1998. "Kalau ksatria, Prabowo harus berani membuka selubung isu ini," kata Karel.