Senin 14 Aug 2023 12:44 WIB

Koalisi 'Gemuk' Pendukung Prabowo Vs Reaksi PDIP dan Ganjar

Skenario empat poros koalisi pupus setelah Golkar dan PAN resmi dukung Prabowo.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan sambutan pada deklarasi dukungan Pilpres 2024 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Ahad (13/8/2023).
Foto: Prayogi/Republika
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan sambutan pada deklarasi dukungan Pilpres 2024 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Ahad (13/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Fauziah Mursid, Antara

Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) pada Ahad (23/8/2023), resmi meneken kerja sama untuk bergabung dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Dalam deklarasinya, kedua partai politik tersebut juga secara resmi menyatakan dukungannya kepada Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (capres).

Baca Juga

Sebelum Partai Golkar dan PAN, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi yang pertama berkoalisi dengan Partai Gerindra. KKIR diteken kedua partai politik pada satu tahun yang lalu. Setelah PKB, Partai Bulan Bintang (PBB) menyakatan dukungannya kepada Prabowo. Selanjutnya, Partai Gelora akan menyampaikan dukungannya kepada Menteri Pertahanan (Menhan) itu.

Pengamat politik Yusfitriadi menilai bergabungnya Golkar dan PAN ke koalisi mendukung Prabowo Subianto menggugurkan peluang akan adanya empat poros koalisi di Pilpres 2024. Hal ini juga membuat koalisi Prabowo semakin kuat.

"Sehingga sudah bisa dipastikan Prabowo sangat kuat. Sekaligus menggugurkan informasi akan adanya poros koalisi keempat dalam dukungan calon presiden dan wakil presiden," ujar Yusfitriadi dalam keterangannya, Ahad (13/8/2023).

 

Saat ini, gabungan parpol koalisi pendukung Prabowo Subianto telah mencapai 46,09 persen kursi di parlemen. Meski begitu, Pengamat politik dari lembaga Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai kuatnya dukungan ini tidak serta merta membuat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 satu putaran. 

"Situasinya tentu saja Prabowo mendapat dukungan lebih kuat, hanya saja belum cukup kuat membuat Pilpres satu putaran, karena koalisi Perubahan juga besar porsinya," ujar Dedi dalam keterangannya, Senin (14/8/2023).

Dedi mengatakan, jika mengacu hitungan Pilpres 2019 lalu, kubu Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu mengumpulkan kekuatan koalisi hingga 60 persen. Sementara pihak oposisi di angka 40 persen.

Sedangkan saat ini, kekuatan Prabowo akan tepecah dengan Ganjar Pranowo. "Sehingga mencapai suara bulat 50an persen akan tetap berat dilakukan, kecuali jika kandidat hanya dua pasang," ujarnya.

Dedi melanjutkan, kemungkinan dua pasang capres masih terbuka jika besarnya koalisi Prabowo membuat PDIP ikut merapat ke koalisi tersebut. "Bukan tidak mungkin, dengan besarnya gerbong Prabowo bisa ubah keputusan PDIP untuk ikut merapat, dan jika demikian maka satu putaran itu lebih mungkin," ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Sumatra Barat, Asrinaldi menilai, dukungan dari Golkar dan PAN akan membuat Prabowo Subianto semakin percaya diri sebagai capres. Dukungan dari dua partai politik pimpinan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, yang keduanya juga duduk sebagai menteri di Kabinet Indonesia Maju bersama Prabowo itu, kian menambah kekuatan mesin politik Partai Gerindra menjelang Pilpres 2024.

"Kalau dia (Partai Gerindra) sendiri yang mendayung untuk mengantarkan Prabowo ke pelabuhan presiden, itu sangat berat. Makanya, butuh mesin baru dan mesin itu PAN dan Golkar," kata Asrinaldi.

 

Menurut dia, Golkar memiliki infrastruktur politik cukup kuat, sedangkan PAN mempunyai basis atau loyalitas pendukung yang juga tidak bisa diragukan. Namun, penulis buku berjudul "Politik Masyarakat Miskin Kota" tersebut berpandangan satu hingga dua bulan ke depan situasi politik di Tanah Air masih cukup rentan dan dinamis.

Asrinaldi mengatakan apabila dalam kesepakatan yang dibuat oleh suatu koalisi tidak sesuai dengan komitmen di awal, maka bisa saja salah satu partai keluar atau menarik dukungannya dan menyeberang ke koalisi lain.

"Ini sangat dinamis dan bisa saja berubah. Sebagai contoh (adalah) yang terjadi pada Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)," tambahnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement