Selasa 29 Apr 2014 17:12 WIB

Tak Hanya di Banten, Politik Dinasti Juga Terjadi di Lamongan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Politik dinasti tidak hanya terjadi di Provinsi Banten, namun juga di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur (Jatim). Padahal politik dinasti rawan memunculkan tindak pidana korupsi.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Ucu Martanto mengakui, politik dinasti baru saja dibangun di Lamongan yang dipimpin oleh Bupati Lamongan, Fadeli. Enam anggota keluarga Fadeli lolos sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lamongan periode 2014-2019. Mereka terdiri dari dua anak kandung Fadeli, menantu, dan keponakan orang nomer satu di Lamongan itu. Keluarga besar Fadeli berhasil melenggang sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrat.

Ucu menyebutkan, ada beberapa kemungkinan mengapa politik dinasti terbentuk di kabupaten itu. Kemungkinan pertama yaitu karena keterbatasan informasi penyelenggara pemilu terhadap calon legislatif (caleg) yang seharusnya disebarluaskan ke pemilih.

Saya melihat pemilih sebenarnya tidak senang terhadap praktek nepotisme. Tetapi mereka tidak diberi bekal informasi (caleg) yang cukup, sehingga pemilih mencoblos caleg yang hanya mereka kenal atau hanya tahu namanya saja,” katanya saat ditemui di diskusi 'Catatan Atas Praktek Politik Uang: Noda Demokrasi Kita' di Surabaya, Selasa (29/4).

Faktor kedua yaitu mengenai sumber daya finansial, hingga birokrasi pemerintahan yang patut dicurigai. Faktor terakhir, dia melanjutkan, insentif yang diberikan caleg dari kerabat Fadeli untuk pemilih, baik itu uang maupun janji jumlahnya lebih besar dibandingkan insentif yang caleg lain berikan.

Memang, kata Ucu, masyarakat tidak bisa melarang seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin mencalonkan diri sebagai caleg, meskipun dia anak atau kerabat kepala daerah yang masih menjabat. Namun ia menegaskan bahwa politik dinasti rentan dan berbahaya.

“Pertama karena ini terkait masalah anggaran proyek yang diajukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Lamongan ke tingkat DPRD. Mereka (SKPD) semakin dimudahkan mendapatkan anggaran karena yang menelaah pengajuan anggaran itu adalah anggota legislatif yang merupakan keluarganya sendiri,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Tim Ahli Jaringan Anti Korupsi Jatim itu.

Tak hanya itu, politik dinasti juga membuat dana bantuan hibah rawan dikorupsi. Ini karena ada kongkalikong antara anggota legislatif dengan kepala daerah dalam pengelolaan dana hibah tersebut.  “Yang dirugikan tentu warga Lamongan,” ujarnya.

Tak hanya Lamongan, Ucu menyebutkan di Pasuruan juga ada politik dinasti. Untuk mencegah politik dinasti yang menyalahgunakan kekuasaannya, ia menyebutkan bahwa harus ada pengawasan. “Warga Lamongan atau daerah-daerah lainnya yang dipimpin politik dinasti harus lebih memperhatikan lagi praktek kekuasaan kepala daerah,” ujarnya.

Warga juga harus mencermati kemajuan pembangunan daerah tersebut. Selain itu, anggota dewan setempat dituntut lebih kritis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement