Ahad 23 Feb 2014 16:46 WIB

Menkumham: Penarikan RUU KUHAP Harus Disetujui Presiden dan DPR

Rep: Esthi Maharani/ Red: Mansyur Faqih
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin
Foto: Republika/Yasin Habibi
Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adanya usulan agar RUU KUHAP ditarik dari pembahasan tidak bisa sembarangan dilakukan. Penarikan harus ada persetujuan dua pihak, yakni presiden dan DPR. Apalagi pembahasan oleh dua lembaga itu sedang berlangsung di Komisi III DPR. 

Menkumham Amir Syamsuddin menyebut ketentuan di pasal 70 ayat (2) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di situ diatur, RUU yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan presiden.

"Dengan demikian terhadap RUU KUHAP dan RUU KUHP yang sedang dibahas di Komisi III DPR tidak mungkin secara sepihak dapat ditarik oleh presiden tanpa persetujuan DPR," katanya.

Ia menjelaskan, proses penyusunan RUU KUHAP tidak dilakukan sebentar. Sejak 1999 sampai 2006, panitia penyusunan RUU KUHAP telah bekerja. Di 2011 pun telah telah dibentuk Tim Persiapan Pembahasan RUU KUHAP yang salah satu anggotanya adalah Chandra M Hamzah (pada saat itu sebagai pimpinan KPK). 

Setahun kemudian, baru RUU tersebut disampaikan ke Presiden SBY dan segera masuk ke DPR untuk dibahas bersama. Dapat dikatakan, perjalanan untuk merevisi RUU KUHAP dan RUU KUHP tidak mudah. Karenanya, jika harus menarik RUU yang sudah digodok lebih dari 10 tahun itu, dianggap tidak tepat. 

Belum lagi, pembahasan sudah berjalan dan telah masuk pada tahap panitia kerja yang membahas substansi berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Amir juga menegaskan penyusunan RUU KUHAP sama sekali tidak bermaksud mengebiri atau menghilangkan kewenangan KPK. Penyusunan RUU tersebut atas dasar sistem hukum nasional dan memperhatikan HAM universal.

"RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi hukum pidana sehingga seluruh asas hukum pidana berlaku untuk semua tindak pidana baik yang diatur di dalam KUHP mau pun di luar KUHP," katanya. 

Dengan berlakunya KUHP baru, lanjut Amir, undang-undang di luar KUHP bukan berarti menjadi tidak berlaku. Karena undang-undang di luar KUHP merupakan lex specialis. Hal ini secara jelas telah diatur dalam pasal 757 dan Pasal 758 RUU KUHP.

"Dengan demikian, RUU KUHP tidak mengeliminasi eksistensi undang-undang di luar KUHP dan tidak mendelegitimasi keberadaan lembaga penegak hukum (antara lain KPK)," jelasnya. 

Amir menegaskan, RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan lex generalis. Sehingga tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement