Kamis 05 Dec 2013 19:05 WIB

Mayoritas Masyarakat Antipati terhadap Dinasti Politik

Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa mengecam politik dinasti saat Gubernur Banten Atut Chosiyah melantik adik kandungnya Haerul Jaman menjadi Walikota Serang di Serang, Kamis (5/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei yang dilakukan Charta Politika mengemukakan bahwa sebanyak 62,3 persen dari 600 responden sudah antipati terhadap sistem politik dinasti, termasuk pada perekrutan untuk Pemilihan Kepala Daerah.

"Penolakan masyarakat sangat tinggi terhadap politik dinasti. Hal ini sesuai dengan usulan Kementerian Dalam Negeri yang melarang pencalonan Kepala Daerah yang memiliki hubungan darah dengan berbagai ketentuan," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya di Jakarta, Kamis (5/12).

Sisanya, sebanyak 20,5 persen menjawab tidak bermasalah dengan praktik perekrutan kader politik berdasarkan keturunan darah, dan delapan persen menyatakan tidak tahu.

Dinasti politik mencuat dan menimbulkan penolakan di masyarakat, ketika adik Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah, Tubagus Chaeri alias Wawan ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus penyuapan untuk penyelesaian sengketa Pilkada di Kabupaten Lebak, Banten.

Akibat pengusutan kasus itu, diketahui secara luas bahwa sejumlah sanak saudara dan kerabat Gubernur dari Partai Golkar itu mendapat posisi penting di pemerintahan dan DPRD di Provinsi Banten.

Yunarto mengatakan penolakan masyarakat terhadap dinasti politik, harus disikapi oleh pemerintah dan partai politik untuk menjalankan kaderisasi yang mengutaman prestasi dan kecakapan dibandingkan keturunan darah.

Sistem pembatasan calon pemimpin yang memiliki hubungan darah dengan jajaran pemimpin di struktur pemerintahan, baik pusat dan daerah, sudah diusulkan untuk diatur dalam RUU Pilkada.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Malik Haramain sebelumnya mengatakan semua fraksi memberikan sinyal positif mengenai larangan dinasti politik untuk diatur dalam Undang-Undang.

Meskipun demikian, RUU Pilkada kini masih terus dibahas di Komisi II DPR, selain menyangkut beberapa usulan lainnya seperti mekanisme pilkada.

Selain soal dinasti politik, Charta Politika juga mengemukakan, dari 600 responden yang sama, bahwa 36 persen masyarakat menginginkan perselisihan hasil Pilkada tetap ditangani Mahkamah Konstitusi.

Sebanyak 26,7 persen responden lainnya menginginkan ditangani oleh Mahkamah Agung, sedangkan 37,3 persen mengaku tidak tahu.

Kemudian, mengenai pelaksanaan Pilkada, dengan dua opsi langsung atau melalui DPRD, sebanyak 74 persen ingin secara langsung dan 18 persen masyarakat menyetujui Pilkada melalui DPRD.

Charta Politika melakukan survei dengan mekanisme wawancara melalui telepon di Medan, Palembang, Jakarta Timur, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makassar, dengan 600 responden pada 18-24 November.

Yunarto mendeskripsikan responden dalam survei ini mewakili kalangan masyarakat segmen A, B, dan C atau segmen menengah dan menengah ke atas.

Penelitian ini mendapati tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dengan 'margin of error' plus minus empat persen.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement