REPUBLIKA.CO.ID, BATURAJA -- Kasus sengketa lahan warga Desa Banjarsari dan Desa Seleman Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan dengan PT Perkebunan Minanga Ogan, berkepanjangan setelah beberapa kali mediasi tak ada perdamaian.
Hal tersebut terjadi karena pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit itu dinilai tidak mematuhi aturan pemerintah dan melanggar perjanjian dibuat para pendahulu, kata Samrol Maid, salah seorang warga dan Tokoh Masyarakat Desa Seleman di Baturaja ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Jumat.
Usai menghadiri mediasi difasilitasi oleh Pemkab Ogan Komering Ulu (OKU) di kantor bupati itu Samroj yang juga mantan Kepala Desa Seleman tersebut menyatakan kekecewaannya, karena pemerintah sepertinya tidak serius dalam menyelesaikan masalah sengketa lahan warga dengan PT Perkebunan Minanga Ogan (PT PMO) ini.
Ia menilai, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu (Pemkab OKU), lebih memihak kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
"Sampai hari ini, sudah empat kali kami dimediasi dengan pihak PT PMO, namun tetap saja tuntutan kami tidak direalisasikan oleh pihak perusahaan serta belum ada jalan keluar bagi masyarakat," kata Samrol.
Ia menjelaskan, jika berkaca pada aturan yang ada semestinya pihak perusahaan mempekerjakan warga yang berada di ring satu dan itu menjadi prioritas, namun kenyataannya tidak dilakukan.
Kemudian, terkait Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, di sana diatur agar perusahaan memberikan 20 persen dari luas lahan yang diusahakan kepada petani penduduk setempat, itu juga tidak dirasakan warga.
"Hal yang membuat kami sangat kecewa adalah mengenai surat perjanjian Pesirah (setingkat lurah-red) dengan Makmun Murod di atas meterai yang intinya, perusahaan akan menyerahkan kembali lahan diusahakan jika sudah 25 tahun. Namun perjanjian itu dianggap tidak benar oleh pihak perusahaan," katanya.
Pada mediasi itu dipimpin Asisten I Setda OKU, HA Junaidi di dampingi Wakapolres OKU, Kompol FX Winardi Prabowo, beberapa perwakilan warga Desa Seleman dan Desa Banjarsari, GM Operasional PT PMO Yusdy Simbolon beserta sejumlah staf, serta Kepala Dishutbun Iskandar Zulkarnain, Kadisnakertrans Hakim Makmun dan staf dari BPN OKU.
Sementara, General Manager Operasional PT PMO Yusdy Simbolon mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah berulang kali memberikan penjelasan kepada warga supaya tuntutan yang disampaikan lebih jelas, karena semua bersandar pada peraturan.
Oleh karena itu, pihaknya meminta instansi terkait untuk menjelaskan dengan harapan masyarakat di dua desa tersebut lebih mengerti dan tidak ada hambatan di kemudian hari.
"Masalah ini berawal pada 2 Oktober lalu, di mana warga mengklaim lahan di Desa Seleman. Atas aksi warga tersebut sampai hari ini kami tidak dibolehkan beroperasi di kawasan itu. Kami tetap menghargai itu semua, karena kami tidak menginginkan sesuatu terjadi," katanya tanpa menyebutkan berapa luas lahan disengketakan tersebut.
Menurut Yusdy, pihaknya akan mendapat masalah, jika ketentuan-ketentuan itu tidak dilaksanakan, demikian masalah hak guna usaha (HGU) izinnya sampai 2020.
"Semua tuntutan sudah dibahas, bukannya tidak ada tanggapan. Bahkan sudah dijelaskan oleh instansi terkait supaya menjadi terang dan tidak ada masalah," kata pejabat di perusahaan tersebut.
Sementara, Asisten I Setda OKU, HA Junaidi, mengimbau agar warga tidak berbuat anarkis, dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin melalui musyawarah mufakat.
"Apabila berbuat anarkis, nanti akan berbenturan dengan aparat kepolisian. Lakukan musyawarah, kita selalu terbuka untuk memfasilitasi," kata Junaidi.
Dia juga menjelaskan, dalam salah satu poin tuntutan warga mengenai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007. Bahwa, perusahaan tersebut menyediakan lahan 20 persen bagi masyarakat di sekitar lahan yang diusahakan.
Menurut dia, aturan tersebut tidak berlaku bagi PT PMO, karena lahirnya perusahaan tersebut jauh sebelum aturan itu dibuat.
Sementara, Ketua Konsorsium LSM OKU, Herman Sawiran secara terpisah mengatakan, ada satu hal yang menjadi ganjalan selama mengawal kasus tersebut yakni Peraturan Menteri Pertanian itu dibuat tahun 2007, yang dikatakan oleh semua pejabat di OKU tidak berlaku bagi PT PMO.
Dia menegaskan, pendapat seperti itu adalah salah besar, karena yang namanya tidak berlaku surat itu, pihak perusahaan tidak perlu menebus atau menerima sanksi atas apa yang diperbuatnya tidak sesuai aturan.
Karena, aturan itu ada jauh sesudah lahirnya perusahaan atau diundangkan aturan tersebut dan selanjutnya hingga ada perubahan, harus dijalankan oleh siapapun termasuk PT PMO yang merupakan subjek hukum sama seperti manusia.