Senin 11 Nov 2013 06:39 WIB

'Negara Habiskan Rp 16,9 M untuk Dana Pensiun Anggota DPR'

Rep: Bilal Ramadhan/ Red: A.Syalaby Ichsan
Sejumlah anggota DPR mengikuti Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Sejumlah anggota DPR mengikuti Sidang Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) termasuk dalam anggota lembaga tinggi negara yang berhak memperoleh pensiun sesuai dengan pasal 12 ayat 1 UU NOmor 12/1980.

Setiap tahunnya, DPR menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 16,93 miliar setiap tahunnya untuk membayar dana pensiun ini.

Hal ini dikemukakan peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam. Ia menghitung besaran dana pensiun seorang anggota DPR setiap bulannya dari satu persen gaji pokok anggota DPR sebesar Rp 4,2 juta dan dikalikan 60 bulan dengan asumsi masa jabatannya selama lima tahun. Dengan demikian setiap anggota DPR mendapatkan dana pensiun sebesar Rp 2.520.000 per bulannya.

Untuk seluruh anggota DPR yang sebanyak 650 orang, maka tiap bulannya DPR akan menghabiskan dana sebesar Rp 1,41 miliar untuk dana pensiun. Sehingga untuk tiap tahunnya, dana pensiun untuk seluruh anggota DPR akan menghabiskan anggaran negara sebesar Rp 16,93 miliar.

"Bagaimana dengan pimpinan dan anggota DPR yang berhenti dengan tidak hormat, hal ini tidak jelas diatur dalam UU Nomor 12/1980, termasuk di UU Nomor 27/2009," kata Roy Salam dalam rilis yang diterima Republika, Ahad (10/11).

Menurutnya, hal ini akan berdampak terhadap anggota DPR yang terlibat dalam kasus korupsi atau pidana lainnya, akan tetap memperoleh dana pensiun.

Maka itu, ia menilai perlu adanya revisi terhadap aturan dalam penerimaan dana pensiun terkait pemberhentian secara tidak hormat terhadap anggota DPR melalui putusan Badan Kehormatan (BK) DPR.

"Saat ini negara memberikan dana pensiun kepada anggota DPR tanpa melihat kinerja mereka, apalagi pemberiannya seumur hidup, termasuk memberikan dana pensiun kepada pelaku kejahatan dan koruptor. Untuk itu perlu dilakukan revisi terhadap aturan tersebut," imbaunya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement