Rabu 09 Oct 2013 20:19 WIB

Pengamat: Kasus Akil Mochtar Momentum Kuatkan MK

Akil Mochtar
Foto: Adhi Wicaksono/Republika
Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Mulyana W Kusumah mengatakan, proses hukum terhadap Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar harus menjadi momentum mengoreksi internal guna menguatkan kinerja lembaga itu. Bukannya untuk melemahkannya demi kepentingan politik tertentu.

"Karena bila terjadi pelemahan, penundukan, serta pelumpuhan MK, berpotensi menutup jalur hukum untuk menyelesaikan berbagai bentuk ketidakadilan konstitusional, bahkan dapat menimbulkan krisis ketatanegaraan," kata Mulyana di Jakarta, Rabu (9/10).

Ia mengatakan, sebagai negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi pada 10 tahun lalu, Indonesia pada satu sisi telah membangun citra internasional sebagai negara hukum modern. Pada sisi lain melakukan langkah maju dengan melahirkan institusi strategis mengawal demokrasi konstitusional.

Di negara-negara hukum modern seperti Prancis, wewenang MK (Conseil Constitutionnel) adalah pemegang otoritas konstitusional tertinggi, dengan wewenang antara lain melakukan supervisi atas pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden, serta memastikan legitimasi referendum.

"MK Perancis sekarang beranggotakan antara lain tiga mantan presiden, yaitu Valery Giscard d'Estaing, Jacques Chiraq, dan Nicolas Sarkozy. MK di Jerman, Bundesverfasssungsgericht, mempunyai tugas utama yang sama," tutur direktur Seven Strategic Studies (7SS) itu.

Di Indonesia, Pasal 24 C UUD 1945 ayat (1) menegaskan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Juga memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

Menurut Mulyana, gagasan dan upaya untuk melakukan pengebirian eksistensi, pengerdilan fungsi dan tugas ataupun pemangkasan kewenangan serta kewajiban konstitusional MK, akan meruntuhkan pilar utama negara hukum.

"Jika hanya demi kepentingan politik, merupakan 'set back' dalam upaya menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara konstitusional beradab dan modern," katanya.

Karenanya, kata Mulyana, pemulihan citra kelembagaan MK sebagai benteng demokrasi konstitusional harus didukung segenap kekuatan politik demokratik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement