Rabu 02 Oct 2013 16:53 WIB

'Potensi Jual Beli dalam Pasal UU Tipikor'

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Djibril Muhammad
Gedung Mahkamah Konstitusi
Foto: Republika/Yasin Habibi
Gedung Mahkamah Konstitusi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana Chairul Huda menyatakan kemungkinan terjadi jual beli pasal dalam penerapan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebab, ia menilai telah terjadi duplikasi rumusan delik pasal dalam undang-undang tersebut.

Chairul merujuk pada Pasal 5 ayat 2 dengan Pasal 12 huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji.

Chairul berpendapat, delik dalam kedua pasal tersebut sama persis. Tetapi, dibuat dalam pasal yang berbeda. "Pemahaman rumusan delik ini memungkinkan terjadinya jual beli pasal," kata dia, dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (2/10).

Menurut Chairul,  Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 12 huruf a dan b mempunyai delik yang sama. Akan tetapi, ancaman hukuman pidananya berbeda. Pasal 5 ancaman maksimumnya pidana lima tahun penjara. Sedangkan pada Pasal 12 hukuman seumur hidup.

Ia berpendapat, adanya satu perbuatan yang diatur dengan dua ketentuan pidana ini bisa menimbulkan ketidakadilan. "Orang bisa diperlakukan tidak sama," katanya menegaskan.

Chairul mencontohkan, penerima suap yang berlaku kooperatif bisa dikenakan ketentuan pidana yang lebih ringan hukumannya. Sedangkan bagi penerima suap yang tidak mengakui perbuatannya atau membela diri bisa dikenakan ketentuan pidana yang lebih berat.

Inilah, kata dia, yang berpotensi mengakibatkan terjadinya jual beli pasal. Sebab, telah terjadi duplikasi rumusan pasal pada satu perbuatan pidana yang sama.

Dalam persidangan di MK ini, Chairul menjadi saksi yang dihadirkan pemohon. Mantan anggota DPR Zulkarnaen Djabar merupakan pemohon dalam gugatan ini.

Ia merasa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 UU Tindak Pidana Korupsi. Zulkarnaen divonis 15 tahun penjara dengan pasal tersebut di Pengadilan Tipikor ketika menjadi terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan laboratorium dan penggandaan Alquran di Kementerian Agama tahun anggaran 2011-2012.

Pemohon juga merasa adanya ketidakpastian terkait frasa 'patut diduga' dalam Pasal 12 huruf a dan b. Chairul berpendapat, Pasal 12 huruf a dan b itu memuat dua bentuk kesalahan. Yakni kesalahan yang berupa kesengajaan dan kesalahan yang bentuknya kealpaan.

Menurut dia, merupakan hal biasa dalam satu delik memuat dua unsur kesalahan. Akan tetapi, ia mengatakan, tidak pernah ada duplikasi dalam bentuk kesengajaan atau kealpaan itu.

"Ada suatu delik memuat dua unsur kesalahan tapi ada delik lain yang sama memuat ancaman berbeda," kata dia.

Chairul berpendapat perbuatan dalam Pasal 12 huruf a dan b itu sudah ada dalam Pasal 5 ayat 2. Hanya memang dalam Pasal 12 huruf a dan b menambahkan unsur kesalahan dalam bentuk kealpaan dalam perbuatannya.

Sementara dalam Pasal 5 hanya kesalahan dalam bentuk kesengajaan. Akan tetapi, ia menilai, hal itu justru menambah kekeliruan yang ada.

"Karena perbuatan yang bisa timbul karena kealpaan diancam dengan pidana lebih berat dari pada karena kesengajaan," katanya.

Dengan ini, Chairul berpendapat MK seharusnya menyatakan Pasal 12 huruf a dan b UU Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karena, ia mengatakan, adanya pasal itu bisa menimbulkan perlakuan diskriminatif.

Sehingga, ia menilai, telah bertentangan dengan azas perlakuan yang sama dihadapan hukum seperti dalam UUD 1945. Apalagi, menurut dia, sudah ada Pasal 5 yang mengatur mengenai perbuatan yang dimaksud. "Sehingga tidak terjadi disparitas yang berlebihan," kata dia.

Ahli Hukum Pidana, Andi Hamzah, juga mengatakan telah adanya duplikasi dalam UU Tipikor. Ia menilai, satu perbuatan diatur dua kali dan mempunyai hukuman berbeda. Ia mengatakan, Pasal 5 ayat 2 itu disalin dari Pasal 419 KUHP. Sama halnya dengan Pasal 12 huruf a dan b.

Namun, ia menduga, waktu perumusan Pasal 12 huruf a dan b itu yang disalin justru kata-kata dari Pasal 418 KUHP. Sehingga muncul frasa 'patut diduga'.

Andi juga menilai telah terjadi duplikasi mengenai hakim yang menerima suap. Ada pada Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 12 huruf c. "Soal hakim menerima suap juga dua kali diatur," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement