REPUBLIKA.CO.ID, "Selamatkan Indonesia!"
Orang-orang di gerbong kereta rel listrik (KRL) ekonomi sontak menoleh. Seorang lelaki kurus jangkung berdiri di sambungan antara gerbong. Ia yang memekikan kalimat itu di tengah terik hari Kebangkitan Nasional, Senin (20/5).
Lelaki berkaos hitam tanpa lengan itu mulai menjelajahi gerbong. Celana jeans merah dan kaca mata hitam yang dikenakannya, menambah eksentrik penampilan. Tali-tali sandalnya berwarna merah kuning, dan hijau, warna khas para pengusung raegae.
"Selamatkan Indonesia!" pekiknya sambil mengeluarkan sebuah bungkusan warna putih dari kantong plastik hitam yang dibawanya.
Pada bungkusan putih kecil itu tertulis: racun tikus. "Makhluk terkutuk ini harus diberantas dari tanah Indonesia," kata pria itu sambil mengitarkan dagangannya.
Oji, begitu ia dipanggil. Ia merupakan seorang pedagang racun tikus dalam KRL ekonomi Bogor-Jakarta-Tanah Abang. Sudah tiga tahun ia melakoni perkejaan itu.
Kalimat pembuka yang dipekikkannya bukan sekedar pelaris dagangan. Lebih dari itu, Oji punya misi.
Semua berawal saat Oji akhirnya sadar setelah menonton tayangan televisi. Ia prihatin dengan para intelektual negeri ini yang berakhir sebagai tahanan komisi pemberantasan korupsi (KPK). "Kita sudah sedemikian dibodohi," kata Oji.
Lelaki yang kehilangan seluruh anggota keluarganya akibat Tsunami Aceh itu juga mempertanyakan moralitas para pemimpin bangsa. Ia merasa Indonesia terlalu membebek, selalu ingin menjadi seperti negara lain. Ia ingin Indonesia punya kepribadian sendiri. "Mengapa para pejabat itu tunduk pada kepentingan sekelompok orang?" kata Oji.
Pria yang sempat sejenak merasakan bangku kuliah di Universitas Syahkuala Banda Aceh itu merasa kondisi Indonesia saat ini tidak memihak rakyat kecil. Karena, banyak pemuda ingin berpendidikan tinggi, tapi kuliah mahal. "Pendidikan sekarang jadi komersil!"
Ia juga miris dengan pelarangan pedagang di dalam kereta. Belum lagi penggusuran pedagang di stasiun, sementara, banyak iklan yang dipasang di gerbong kereta dan stasiun. "Secara tak langsung, itu juga dagang!," protes Oji.
Ia hanya tersenyum mengingat ada orang yang menganggapnya gila dengan cara berdagang berbeda dari kebanyakan orang. "Saya akan terus berjuang, walau sendiri," ucap Oji, bertekad.
Ia percaya ada orang yang akan tergerak dengan kata-katanya. Ia juga yakin masih ada orang yang berusaha untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik.
Sayang, ia tak tertarik untuk membuat sebuah gerakan masif. "Tak banyak orang yang bisa dipercaya sekarang."
Lelaki kelahiran Medan itu mengatakan racun tikus hanya media untuk menyampaikan aspirasinya. "Tidak bisa makan kalau mengandalkan hasil dagang," kata lelaki yang pindah ke Jakarta setelah Tsunami menghantam kampungnya di Banda Aceh.
Oji yang pindah ke Jakarta 2004 lalu, tak hanya berjualan racun tikus. Untuk memenuhi kebutuhan harian. Ia juga bekerja menjadi tukang parkir dan membantu menjaga toko milik kawan.
Ia berharap masyarakat kembali ke ke-Indonesia-annya. "Masyarakat yang menjunjung Pancasila dan memahami bagaimana seharusnya menjalankan negara berdasarkan UUD 1945," kata Oji.
Ia berharap pemuda tak kehilangan semangatnya untuk berbuat sesuatu guna memerbaiki keadaan Indonesia. "Haruskah terjadi revolusi?" kata Oji sambil membawa dagangannya menuju kereta.