REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan partai yang dipimpinnya bakal melibatkan rakyat dalam seleksi capres 2014, melalui mekanisme konvensi.
''Gagasan saya adalah melibatkan rakyat dalam seleksi Capres 2014,'' ujar SBY dalam akun Twitternya @SBYudhoyono.
SBY mengungkapkan, selama 6 hingga 8 bulan, rakyat bisa mengikuti visi dan solusi yang ditawarkan tiap Capres dalam konvensi. ''Realistis?'' tanya SBY.
Ahad (28/4) lalu, SBY mengaku bertemu tujuh tokoh politik dan komunikasi. Dalam pertemuan itu, secara khusus SBY meminta ide konvensi Capres 2014 yang akan digelar Demokrat untuk dikritisi.
''Pandangan mereka jernih, jujur, dan terbuka. Termasuk bagaimana membuat Konvensi Capres tersebut sukses dan bermanfaat untuk rakyat,'' ungkapnya.
Rencana konvensi calon presiden (capres) yang akan digelar Partai Demokrat mendapat apresiasi dari Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie.
Jeffrie mengusulkan agar konvensi capres yang akan digelar Partai Demokrat tak meniru konvensi Golkar dan konvensi seperti di Amerika Serikat.
''Konvensi ala Golkar rawan terhadap politik uang, sedangkan konvensi ala Amerika bersandar pada primary (pemilihan awal),'' ujar pendiri The Indonesia Institute itu kepada ROL, beberapa waktu lalu.
Menurut Jeffrie, konvensi ala Amerika (primary) tidak cocok untuk Indonesia, karena, primary umumnya tertutup. Ia menuturkan, pemilih yang ikut primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan.
''Kalau primary Republik maka anggota partai Demokrat tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional,'' tuturnya.
Ia berharap konvensi capres yang akan digelar Partai Demokrat memungkinkan semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional.
Setelah itu, lanjut dia, menjelang konvensi nasional dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. ''Siapa yang mendapat urutan pertama, maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu.''
“Inilah sistem the winner takes all,” kata Jeffrie. Hasilnya dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei.
Misalnya, kata dia, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 Dahlan Iskan, maka delegasi Aceh mencalonkan Dahlan. Kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud, maka delegasi Jatim mencalonkan Mahfud.
Untuk menjamin agar tetap proporsional, tutur Jeffrie, kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional.
Aceh misalnya 2 persen sedangkan Jatim 16 persen. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka Jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. ''Aceh 2 orang dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu,'' tuturnya.
Menurut Jeffrie, cara seperti itu merupakan konvensi baru. Ia menambahkan, jika survei nasional yang menjadi basis dalam mengambil keputusan, maka calon yang ditetapkan akan sangat mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
''Kalau ini yang terjadi, Demokrat membuat inovasi politik besar, dan baru. Bukan hanya dalam politik kita tapi juga di dunia. Konvensi Nasional Berbasis Pemilih Nasional sebagaimana direkam secara ilmiah lewat survei adalah gagasan baru dan efisien,''paparnya.
Disebut efisien, kata Jeffrie, karena dibanding konvensi Golkar dulu biayanya bisa mencapai ratusan miliar dikeluarkan, dan hasilnya tidak efektif.
Primary juga, lanjut dia, sangat mahal. ''Primary itu kan seperti pemilihan sebenarnya, melibatkan puluhan juta pemilih. Butuh persiapan dan lain sebagainya. Pasti mahal, padahal hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.''