REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Ratusan angkutan umum di Jawa Tengah bagian selatan, Rabu (24/4), mogok massal sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pembatasan bersubsidi.
Dari pantauan Antara di Purwokerto, aksi mogok massal ini diikuti ratusan angkutan penumpang maupun barang. Para awak angkutan memasang berbagai poster pada kendaraan mereka, antara lain, bertuliskan 'Tolong Rakyat Kecil Jangan Dibikin Susah, Permudah Solar', 'Di mana Janji Pemerintah Menyejahterakan Rakyat', 'Cilacap Gudang Solar, Kenapa Solar Susah', dan 'Sedina Ngode, Rong Dina Prei (Sehari bekerja, dua hari libur, red.).'
Sebelum berunjuk rasa, para awak angkutan berkumpul di perempatan Tanjung, Purwokerto, guna menghentikan angkutan umum yang datang dari arah Cilacap dan memintanya untuk ikut mogok massal puluhan penumpang bus terpaksa turun di tempat itu.
Oleh sebab itu, arus lalu lintas dari arah Purwokerto menuju Cilacap dan Bandung menjadi macet sehingga petugas Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Banyumas meminta awak angkutan menggeser kendaraan ke Jalan Raya Gerilya.
Selanjutnya, awak angkutan membawa kendaraan mereka ke SPBU Gerilya Tanjung dan berhenti di tempat itu guna menunggu rekan-rekannya.
Saat ditemui di sela aksi mogok, Ketua Paguyuban Sopir Material Banyumas Satria (Pasma) Narikun mengatakan bahwa para awak angkutan menuntut kemudahan memperoleh solar.
"Dalam beberapa pekan terakhir, kami sulit mendapatkan solar sehingga aktivitas pun terganggu. Kami menuntut agar solar dipermudah," katanya.
Ia mengaku melibatkan sedikitnya 60 angkutan material dalam aksi mogok massal ini. Secara terpisah, Penasihat Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Banyumas Sutanto mengatakan pemimpin adalah pengayom masyarakat di bumi.
"Kalau memang Pemerintah menghendaki (harga solar, red.) untuk dinaikkan, naikkan saja, jangan seperti ini. Jangan menelantarkan pengusaha, sopir, serta karyawan termasuk istri dan anak," katanya.
Pembatasan solar bersubsidi ini, kata dia, dapat mengacaukan berbagai aktivitas masyarakat. Dalam hal ini, ia mencontohkan sopir angkutan pasir yang mengatakan kepada istrinya jika hendak berangkat bekerja.
Akan tetapi, sopir itu ternyata hanya nongkrong di SPBU guna mendapatkan solar.
Setelah mendapatkan solar, sopir itu menuju ke tempat penampungan pasir. Namun, ternyata sudah ditutup oleh pemiliknya karena sepanjang hari tidak ada truk yang bisa mengangkutnya.
"Ini kacau dan hampir setiap hari terjadi. Kalau tidak ada revisi atau kebijakan yang lebih baik, akibatnya juga tidak baik," kata Sutanto.
Ia mengaku khawatir nantinya akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan masyarakat. "Padahal, Banyumas selalu mengutamakan iklim yang sejuk. Apa harus dipancing seperti ini (mogok massal, red.) dan dapat berakibat yang tidak baik? Kami tidak mengharapkan itu," katanya.
Menurutnya, pengusaha angkutan tidak mempermasalahkan jika terjadi kenaikan harga solar, termasuk kemungkinan tidak adanya subsidi bagi bahan bakar minyak ini.
"Kalau memang naik, tidak masalah, kita nantinya tinggal menyesuaikannya. Akan tetapi, kalau terus-terusan seperti ini, pengusaha dan awak angkutan tidak percaya lagi," katanya.
Setelah berkumpul di SPBU Gerilya Tanjung, awak angkutan selanjutnya berkonvoi menuju Alun-Alun Purwokerto. Dari pantauan Antara, pada Rabu pagi tidak terlihat adanya angkutan penumpang yang melintas di sejumlah ruas jalan di Kabupaten Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga.