REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana konvensi calon presiden (capres) yang akan digelar Partai Demokrat mendapat apresiasi dari Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie.
Jeffrie mengusulkan agar konvensi capres yang akan digelar Partai Demokrat tak meniru konvensi Golkar dan konvensi seperti di Amerika Serikat.
''Konvensi ala Golkar rawan terhadap politik uang, sedangkan konvensi ala Amerika bersandar pada primary (pemilihan awal),'' ujar pendiri The Indonesia Institute itu kepada ROL, Sabtu (20/4).
Menurut Jeffrie, konvensi ala Amerika (primary) tidak cocok untuk Indonesia, karena, primary umumnya tertutup. Ia menuturkan, pemilih yang ikut primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan.
''Kalau primary Republik maka anggota partai Demokrat tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional,'' tuturnya.
Ia berharap konvensi capres yang akan digelar Partai Demokrat memungkinkan semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional.
Setelah itu, lanjut dia, menjelang konvensi nasional dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. ''Siapa yang mendapat urutan pertama, maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu.''
“Inilah sistem the winner takes all,” kata Jeffrie. Hasilnya dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei.
Misalnya, kata dia, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 Dahlan Iskan, maka delegasi Aceh mencalonkan Dahlan. Kalau di Jawa Timur yang nomor 1 Mahfud, maka delegasi Jatim mencalonkan Mahfud.
Untuk menjamin agar tetap proporsional, tutur Jeffrie, kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional.
Aceh misalnya 2 persen sedangkan Jatim 16 persen. Kalau total suara di konvensi nanti 100, maka Jatim mengirim 16 orang dengan suara ke Mahfud semua. ''Aceh 2 orang dengan suara ke Dahlan semua. Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu,'' tuturnya.
Menurut Jeffrie, cara seperti itu merupakan konvensi baru. Ia menambahkan, jika survei nasional yang menjadi basis dalam mengambil keputusan, maka calon yang ditetapkan akan sangat mencerminkan aspirasi pemilih nasional.
''Kalau ini yang terjadi, Demokrat membuat inovasi politik besar, dan baru. Bukan hanya dalam politik kita tapi juga di dunia. Konvensi Nasional Berbasis Pemilih Nasional sebagaimana direkam secara ilmiah lewat survei adalah gagasan baru dan efisien,''paparnya.
Disebut efisien, kata Jeffrie, karena dibanding konvensi Golkar dulu biayanya bisa mencapai ratusan miliar dikeluarkan, dan hasilnya tidak efektif.
Primary juga, lanjut dia, sangat mahal. ''Primary itu kan seperti pemilihan sebenarnya, melibatkan puluhan juta pemilih. Butuh persiapan dan lain sebagainya. Pasti mahal, padahal hasilnya kurang mencerminkan aspirasi pemilih nasional.''
Mengenai banyaknya kalangan yang menyangsikan kredibilitas lembaga survei, Jeffrie tidak menampik memang ada lembaga yang kredibel dan ada yang tidak.
Mengenai hal itu, menurut Jeffrie, bisa dilihat dari rekam jejaknya dalam pilpres sebelumnya. Juga bisa dilihat dari orang-orang yang ada di belakang lembaga itu, apakah mereka kompeten atau tidak. Misalnya dilihat dari keilmuan dan pengalamannya.
Ia menilai di balik ide konvensi, ada upaya untuk mendongkrak Partai Demokrat yang tengah terpuruk. Meski begitu Jeffrie tidak mempersoalkannya.
“Kalau punya tujuan itu, saya kira itu normal, dan harus,” katanya. Tapi, menurut Jeffrie, warga juga mendapat sesuatu dari itu, yakni ada peluang bagi regenerasi kepemimpinan nasional, bagi pemimpin yang lebih sejalan dengan perkembangan masyarakat dan zaman.