Selasa 19 Feb 2013 12:00 WIB

Ironis, Tinggal Dekat Hutan Hujan Tropis Tapi Kekurangan Air

Rep: Ratna Puspita/ Red: Mansyur Faqih
Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser
Foto: Ratna Puspita/Republika
Resort Sei Betung, Taman Nasional Gunung Leuser

REPUBLIKA.CO.ID, LANGKAT -- Hidup warga Desa Halaban, Kecamatan Basitang, Langkat, Sumatera Utara, sangat ironis. Mereka tinggal di dekat hutan hujan tropis Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), tapi kekurangan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

Baron (48 tahun), warga Desa Halaban mengatakan, mengatakan, kekurangan air bersih itu sudah terjadi sejak 1990-an. Atau sekitar satu dekade setelah masuknya perusahaan-perusahaan perkebunan ke desa penyangga TNGL tersebut.

"Sumur digali hingga kedalaman enam meter saja sudah tidak ada airnya," kata dia, Selasa (19/2).

Untuk mengatasi kekurangan air, warga pun terpaksa membeli di des terdekat. Setiap bulan, Baron mengaku harus merogoh kocek Rp 150 ribu untuk membeli air untuk kebutuhan memasak dan minum.

Untuk kebutuhan mandi, cuci, dan kakus, warga mengandalkan sungai kecil yang mengalir di sekitar desa penyangga itu. Namun, kondisi menyedihkan terjadi pada musim kemarau. Sebab, lanjutnya, sungai kecil yang berada di wilayah tersebut tidak mengalirkan air.

Alhasil, warga harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk air bersih ketika musim kemarau. "Kami bisa menghabiskan Rp 600 ribu per bulan untuk air ketika kemarau," kata dia.

Dampak buruk perambahan hutan lainnya, yaitu banjir yang kerap menggenangi wilayah itu ketika hujan deras. "Banjirnya bisa mencapai sini," ujar Baron seraya menunjukan dadanya, atau setinggi 120 sentimeter.

Kondisi ini memunculkan kesadaran dalam diri warga untuk ikut melakukan perbaikan. Apalagi, warga tidak diizinkan membuka ladang di dalam TNGL, sementara perusahaan-perusahaan dibiarkan melakukan penanaman sawit di lokasi tersebut.

Namun, keinginan warga berpartisipasi dalam restorasi wilayah di TNGL mengalami kesulitan karena tidak adanya pihak yang mendukung. Lembaga swadaya masyarakat yang datang ke Desa Halaban pun tidak melakukan upaya nyata untuk penyelamatan kawasan konservasi. 

"LSM penipu semua. Mereka hanya sosialisasi," ujar Baron.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement