Selasa 08 Jan 2013 17:45 WIB

Larangan Duduk Mengangkang Bukan Syari'at Islam

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Dyah Ratna Meta Novi
Seorang wanita naik sepeda motor dengan posisi duduk mengangkang di Lhokseumawe, Aceh,Senin (7/1).
Foto: AP/Rahmat Yahya
Seorang wanita naik sepeda motor dengan posisi duduk mengangkang di Lhokseumawe, Aceh,Senin (7/1).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsudin menilai Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kota Lhokseumawe Aceh yang melarang perempuan duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor tak berkaitan dengan ajaran agama.

"Saya kira rujukannya lebih ke adat ketimbang agama," ujar Din kepada wartawan, Selasa (8/1), di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta.

Din menyatakan, Pemerintah Kota Lhokseumawe semestinya mengkaji terlebih dahulu dasar rujukan atas perda yang mereka keluarkan. Hal ini agar perda tidak menimbulkan kontroversi dan bahkan resistensi di masyarakat. "Harusnya dikaji mendalam," katanya.

Menurut Din saat ini kebiasaan hidup manusia berubah dengan cepat seiring modernisasi zaman. Kondisi ini membuat hal yang bersifat etis dan tak etis menjadi bias. "Mengangkang dan tidak mengangkang mana pertimbangan yang lebih baik," katanya.

 

Perda larangan duduk mengangkang sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Din khawatir isu ini akan dikaitkan dengan ajaran agama Islam. Padahal duduk tidak mengangkang belum tentu lebih Islami. "Yang mengangkang juga tak berarti tidak agamis," ujarnya.

Anggota Komisi VIII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Ali Maschan Musa menyatakan, segala peraturan yang merujuk pada syari'at Islam harusnya mengacu pada sifat Islam yang rahmatan lil'alamin (membawa keselamatan bagi seluruh alam). "Syariat Islam harus dikembalikan pada misi Rahmatan Lil'alamin," katanya.

Ali menjelaskan, sifat rahmatan lil'alamin mengacu pada tiga hal: membawa kebaikan bagi orang lain, adil, dan mewujudkan kemashalatan. "Kalau mengacu pada tiga hal itu apa larangan duduk mengangkang sudah memenuhinya?"

Senada dengan Din, Ali menyatakan duduk mengangkang tidak melulu melanggar syari'at Islam. Malahan duduk mengangkan bisa memberi kemashalahatan karena perempuan menjadi lebih aman saat berboncengan sepeda motor. "Pertanyaan saya apakah duduk mengangkang melanggar syariat? Jawabannya pasti tidak," katanya.

Seperti diketahui, sejak  7 Januari 2012 Wali Kota Lhokseumawe, Suaidi Yahya secara resmi mengeluarkan surat edaran yang melarang perempuan dewasa duduk mengangkang saat dibonceng menggunakan sepeda motor.

Berikut isi surat edaran bernomor 002/2013 yang terkait dengan larangan tersebut:

Untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini Pemerintah menghimbau kepada semua masyarakat di wilayah Kota Lhokseumawe, agar:

1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang), kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).

2. Di atas kendaraan baik sepada motor, mobil dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara-cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.

3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.

4. Kepada seluruh keuchik, imum mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swadaya, agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement