REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri kembali berhasil membongkar sindikat penipuan transaksi internet melalui situs Online Shop. Sebanyak 64 orang yang semuanya adalah Warga Negara Asing (WNA) asal Cina ditangkap pada Rabu (19/12) petang.
Mereka diamankan atas laporan kepolisian Republik Rakyat Cina (RRC) yang memberikan informasi terkait keberadaan kelompok tersebut. Sindikat ini beraksi dengan berpura-pura menjual barang di Online Shop yang mereka kelola. Dalam transaksi dengan calon korban, mereka meminta pengiriman uang sebagai bentuk pembayaran pesanan dilakukan di awal.
Setelah korban membayar melalui proses transfer, pesanan yang seharusnya dikirim tak kunjung datang. Alhasil, para korban yang semuanya adalah penduduk RRC harus kecewa dan melaporkan ha tersebut ke kepolisian setempat. Kekecewaan mereka kemudian ditindak lanjuti oleh kepolisian RRC, setelah dilakukan pengusutan, ternyata para pelaku tidak berada di dalam negeri RRC.
“Kepolisian Cina memberitahu kami bahwa hasil penyelidikan mereka menyebutkan para pelaku kejahatan tersebut melakukan aksinya dari Indonesia,” kata Karo Penmas Polri, Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta Selatan Kamis (20/12).
Penangkapan WNA Cina atas kasus yang sama sudah kerap Polri lakukan, setidaknya dalam kurun waktu dua tahun. Total ada 222 pelaku Cybercrime asal Cina yang menjadikan Indonesia sebagai basecamp mereka dalam menjalankan aksi kriminalnya.
Boy mengatakan, selain penangkapan kali ini, sebelumnya juga ada dua penangkapan besar terkait kasus yang sama. Awal bulan Desember, 58 WNA Cina ditangkap di Jakarta, lalu tahun 2011 lalu ada seratus orang berpaspor Cina ditangkap di Serpong, Bintaro, dan Bekasi.
Maraknya WNA Cina yang melakukan aksi Cybercrime di Indonesia dikatakan Boy dipengaruhi banyak hal. Dia berujar, setidaknya faktor geografis dan psikologis memiliki peran paling sentral atas keputusan WNA Cina yang memilih Indonesia sebagai pusat organisasi aksi Cybercrime.
Dia menjelaskan, secara geografis letak Indonesia dengan RRC cukup jauh. Sehingga para pelaku merasa aman dari kejaran otoritas keamanan di lokasi munculnya para korban. Kelompok ini berpikir, polisi setempat tidak akan sanggup menggapai mereka karena aksinya dilakukan di luar RRC.
Kemudian dari psikologis, menurut Boy faktor banyaknya warga Indonesia keturunan Cina cukup membantu mereka. Selain mudah berbaur, mereka juga dapat menemukan saudara-saudara mereka yang satu etnis.
“Tentu mereka akan merasa nayaman dan merasa di rumah sendiri dengan kondisi tersebut. Selain itu, tidak akan ada masyarakat yang curiga dengan aktivitas mereka karena etnis keturunan Tionghoa kan banyak,” ujar Boy.
Atas dasar inilah, Boy mengatakan Polri akan lebih awas terhadap segala kemungkinan munculnya para pelaku serupa di Indonesia. Selain masalah keamanan, martabat Indonesia juga ikut diperhitungkan.