REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soekarno secara otomatis membersihkan nama Soekarno dari stigma negatif peristiwa G30S. Masyarakat, khususnya generasi muda, mesti mendapat informasi yang jelas mengenai persoalan ini.
"Pemberian gelar itu bisa menyudahi pro-kontra kedudukan yuridis dan politis TAP MPR No XXXIII 1967," kata Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR Yasonna Laoly dalam acara diskusi. "Kedudukan Juridis dan Politis TAP MPRS No XXXIII tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno," di kompleks Parlemen, Selasa (11/12).
Yassona mengatakan, sulit dipahami bahwa seorang Soekarno akan mengkhianati negara yang sudah dengan susah payah didirikan. Dia berharap tidak ada lagi wacana keterlibatan Soekarno sebagai pengkhianat negara dalam peristiwa G30S.
Jimly Asshiddiqie menyatakan, persoalan persoalan sejarah bangsa mengenai keterlibatan Soekarno di peristiwa G30S adalah menyangkut pemulihan nama baiknya di masyarakat. Publik mesti mendapat sosialisasi dan informasi yang jelas mengenai hal ini. Apalagi, Presiden SBY telah menyampaikan pidato khusus terkait penganugrahan gelar pahlawan kepada Soekarno pada 7 November 2012.
"Sayangnya, Presiden tidak secara eksplisit menegaskan sikapnya terhadap TAP MPR itu. Padahal ini penting sebagai petunjuk arah bagi upaya pendidikan politik yang lebih luas bahwa masalah Bung Karno dan ketetapan MPRS itu memang sudah selesai," kata Jimmly.
Politikus PDI Perjuangan, Achmad Basarah, mengatakan stigma negatif yang dilekatkan penguasa Orba kepada Soekarno telah menciptakan tekanan psikologis kepada keluarga dan anak-anak Soekarno. Dia mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional sangat melegakan. "Sayang tidak ada permintaan maaf dari Presiden SBY dalam pidato pemberian gelar itu. Jika ada akan lebih baik lagi," ujarnya.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari menyatakan penetapan Soekarno sebagai pahlawan secara otomatis menggugurkan TAP MPR No XXXIII 1967. Dia mengatakan tidak perlu ada TAP MPR/MPRS baru untuk mencabut TAP MPR No XXXIII 1967 yang sudah tidak berlaku. Menurutnya status pahlawan nasional Soekarno sudah masuk kategori ketetapan hukum karena bersifat einmalig (final). "Kalau MPR mencabut ketetapan itu malah menimbulkan kontroversi baru lagi," kata Hajriyanto.