REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM - Sunda Kecil, julukan untuk pulau kecil yang membentang sepanjang pulau Bali-Timor penting dalam pelayaran perdagangan internasional karena letaknya yang sangat strategis di jalur lintas Malaka-Jawa-Maluku. Para pedagang internasional berlabuh tak hanya untuk mengisi bahan bakar atau istirahat, tapi juga menukar barang yang dibawa dari Malaka dengan komoditas lokal.
Selain budak dan kayu cendana, beras Lombok menjadi salah satu komoditas andalan. Sejak 1835, beras Lombok dan Bali diekspor ke Australia, Singapura, dan Cina. Sejarawan masa lampau, Van Der Kraan mencatat tahun itu sebagai awal masuknya Bali dan Lombok dalam jaringan ekonomi dunia sebagai eksportir beras kualitas prima.
"Beras putih, hitam, dan merah asal dua pulau ini kondang sebagai produk kualitas premium," kata Rasyid Asba, guru besar sejarah Univeritas Hasanuddin, di depan peserta Arung Sejarah Bahari VII di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Dari sisi kuantitas, ekspor perkapita dari Lombok lebih tinggi ketimbang Bali. Menurut Tika Ramadhini dari Universitas Indonesia dalam paparannya, hal ini disebabkan karena tanah di lombok lebih subur pascaledakan Gunung Tambora.
"Faktor lainnya adalah karena berkurangnya produksi beras di Jawa karena Cultuurstelsel yang dimulai tahun 1830," katanya. Selain itu, serangan hama memusnahkan banyak pertanian padi antara tahun 1820-1854.
Saat itu, beras Lombok bersaing dengan beras Siam, atau Thailand saat ini. Siam, yang merupakan negara pemasok beras lain di Asia Tenggara, bahkan menutup diri terhadap ekspor beras hingga pertengahan abad ke-19. Ketika kemudian penjajah Spanyol di Filipina juga memutuskan menghentikan ekspor beras dari Pulau Luzon, maka beras dari Sunda Kecil lah yang merajai pasar beras internasional.
Arung Sejarah Bahari (Ajari) adalah acara tahunan yang diadakan Ditektorat Sejarah dan Nilai Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang tahun ini memasuki tahun ke tujuh. Peserta Ajari adalah mahasiswa terpilih wakil dari seluruh provinsi di Indonesia.