REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Penuntasan kasus dugaan suap proyek Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII 2012 yang telah memasuki babak baru. Meski saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kekurangan penyidik internal, namun hal itu tidak menghambat kasus tersebut.
"KPK tidak akan berhenti melakukan upaya penuntasan tiap kasus termasuk kasus PON hanya karena kekurangan penyidik," ujar Juru Bicara (Jubir) KPK Johan Budi, di Pekanbaru melalui telepon, Senin (21/10).
Johan mengatakan, untuk kasus suap PON Riau juga telah memasuki babak baru. Jika sebelumnya terfokus pada dugaan suap antara pihak legislatif, eksekutif dan pemegang proyek, kini telah masuk ke pengadaan barang dan jasa.
"Terutama pada proyek Stadion Utama Riau (yang dijadikan lokasi pembukaan PON Riau). Saat ini berdasarkan pengembangan, untuk pengadaan barang dan jasa proyek tersebut tengah diselidiki," katanya.
Termasuk ketika pemeriksaan terhadap Gubernur Riau HM Rusli Zainal sebelumnya, menurut Johan, juga terkait pengembangan kasus tersebut. "Jadi, pemeriksaan untuk Rusli Zainal pada Jumat (17/10) bukan penyidikan, melainkan penyelidikan atas pengembangan kasus," katanya.
Hasil pengembangan ini, menurut dia, selain berdasarkan pengaduan masyarakat, juga berdasarkan fakta persidangan. Untuk kasus dugaan suap atas rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) No.6/2010 dan Perda Np.5/2008 tentang proyek PON Riau, sebelumnya KPK juga telah menetapkan sebanyak belasan orang tersangka, mulai dari kalangan legislatif, eksekutif maupun kontraktor pengerja proyek.
Beberapa tersangka juga sudah menjalani persidangan dan beberapa diantaranya telah dijatuhi vonis Pengadilan Tipikor di Pekanbaru beberapa waktu lalu. "KPK kini mengembangkan kasus suap senilai Rp 900 juta itu ke penyelidikan pengembangan 'venue' PON. Terutama untuk proyek pengadaan barang dan jasa pembangunan Stadion Utama Riau," kata Johan.
Penelusuran atau penyelidikan dugaan adanya 'penggerogotan' dana pembangunan 'Main Stadium' Riau yang dimaksud Johan diakui berawal ketika adanya rencana revisi Perda No.5/2008 tentang Pembangunan Stadion Utama PON Riau yang sebelumnya ditetapkan senilai Rp 900 miliar.
Untuk diketahui, bahwa masa berlaku Perda tersebut telah habis pada akhir tahun 2011 silam sehingga pihak eksekutif dan legislatif sempat bersepakat untuk merevisinya sembari mencantumkan adanya penambahan anggaran mengingat bangunannya yang belum seratus persen selesai.
Sejumlah legislator Riau juga menyatakan, pengerjaan proyek PON Riau itu diindikasi juga telah melanggar aturan karena tidak sesuai dengan anggaran yang tertera dalam aturan daerah.
Nilai proyek Stadion Utama PON yang disepakati bersama konsorsium tiga perusahaan kontraktor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) baik PT Adhi Karya, PT Pembangunan Perumahan dan PT Wijaya Karya itu yakni sebesar Rp 830 miliar, namun dalam Perda No 5/2008 dicantumkan biaya sebesar Rp 900 miliar.
Kemudian dalam pelaksanaan proyek sepanjang 2011, biaya pembangunan membengkak jadi Rp 914 miliar. Bahkan terakhir, kembali 'mengembang' hingga mencapai Rp1,118 triliun. "Penyidikan kasus yang awalnya mengarah ke Perda Nomor 6/2010 hingga akhirnya mengembang ke Perda Nomor 5/2008 ini adalah satu paket. Jangan dipisah-pisahkan karena hasil pengembangan tim penyidik," katanya.