REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem politik di Indonesia yang korup telah mengikis ideologi negara sedikit demi sedikit karena parpol terjebak dalam politik uang, mengedepankan politik sektarian demi menggalang massa dan praktik-praktik politik lain untuk memenuhi prosedur persyaratan demokrasi, kata seorang akademisi.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Jumat, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina Dinna Wisnu PhD berharap banyak kepada masyarakat sipil untuk melakukan perubahan ketimbang mengharapkan pemerintah, lembaga-lembaga negara atau partai politik.
"Kinilah saatnya masyarakat membuat perubahan. Jangan berharap pada pemerintah, parpol atau lembaga negara," kat Dinna Wisnu.
Menurut Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina, pemerintah maupun partai politik yang ada di DPR saat ini telah memikul beban politik yang berat akibat praktik-praktik politik yang korup.
Dikatakannya, keadaan ini tampaknya akan semakin buruk menjelang pemilu 2014 karena pemerintah dan parpol akan sibuk membersihkan diri ketimbang fokus untuk pembangunan.
Dinna mengatakan ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat sipil untuk membuat perubahan.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan masyarakat sipil, di bidang sosial misalnya, dengan meniru apa yang dilakukan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dengan program Indonesia Mengajar.
Di bidang sosial-politik, ada usaha koreksi sistem perpolitikan melalui ideologi independennya calon gubernur Jakarta Faisal Basri atau mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif yang menjaga perlindungan terhadap kaum minoritas.
Sementara itu, dari sektor pengusaha ada insan seperti Rachmat Gobel yang rela memodali SEA Games agar sukses.
Dinna berharap, masyarakat dapat memiliki inisiatif melakukan perubahan seperti tokoh-tokoh tersebut atau minimal terlibat dan mendukung apa yang telah mereka lakukan.
Di sisi lain, dia mengatakan bahwa seluruh pihak harus memandang positif dan proposional hasil survei yang dilakukan oleh organisasi internasional Fund for Peace yang mengategorikan Indonesia sebagai "state in danger".
"Pemerintah, akademisi , partai politik dan masyarakat harus menjadikan hasil survei itu sebagai titik tolak untuk melakukan perubahan yang lebih konstruktif dan positif," katanya.
Survei itu sendiri, menurut Dinna, meliputi 12 indikator dan ratusan subindikator yang cukup rumit dan bersinggungan satu sama lain. Mereka memiliki sebuah piranti lunak (software) khusus yang menghitung antarvariabel dan kemudian menghasilkan sebuah skor.
Ia mengambil contoh indikator Demographic Pressures di mana indikator itu memuat variabel-variabel tentang tekanan demografi, mulai dari yang terkait dengan kependudukan, akses kepada makanan, air bersih, hingga masalah jumlah penyandang HIV/AIDS.