REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah 14 tahun reformasi terjadi di Indonesia, terjadi perubahan signifikan dalam sistem pemerintahan. Sistem reformasi diterapkan dan terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan. Namun, perubahan itu semua ternyata tidak serta-merta bisa menghapus masalah utama bangsa, yaitu perilaku tindak pidana korupsi yang menjadi salah satu bagian utama dalam agenda reformasi. Sebaliknya, diterapkannya sistem demokrasi justru menambah parah perilaku korupsi bangsa ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menganggap pelaksanaan demokrasi saat ini tidak kondusif untuk memberantas korupsi. "Situasi politik dan demokrasi tidak kondusif untuk memberantas korupsi," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnaen melalui pesan singkatnya, Senin (14/5).
Menurut Zulkarnaen, secara umum, komitmen pemimpin bangsa masih rendah dalam memberantas korupsi. Kalau pun ada dari sebagian pemimpin yang menerikan perlawanan terhadap korupsi, masih dianggap tidak konsisten."Komitmen pemimpin masih rendah dan tidak konsisten," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, beberapa waktu lalu saat menjabat Ketua KPK, membenarkan bahwa korupsi berakar dari kepentingan politik. "Korupsi itu melibatkan pejabat struktural. Di mana, pejabat struktural itu terkadang berasal dari petinggi partai politik," kata Ketua KPK Busyro Muqoddas di kantornya, Kamis (15/12) tahun lalu.
Busyro menjelaskan, proses korupsi politik itu bermula akibat pendidikan politik praktis yang selalu diwarnai oleh politik uang. Sehingga, Busyro menyimpulkan, politik uang itulah yang memunculkan korupsi yang memiliki kepentingan politik.