Kamis 19 Jan 2012 22:18 WIB

JK: Tanpa Infrastruktur, Konversi BBM Bisa Picu Kekacauan

Pengendara mengisi bahan bakar minyak di salah satu SPBU, Jakarta.
Foto: Republika//Wihdan Hidayat
Pengendara mengisi bahan bakar minyak di salah satu SPBU, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mengingatkan, konversi bahan bakar minyak (BBM) premium ke gas pada mobil pribadi tanpa adanya infrastruktur yang mendukung akan menimbulkan kekacauan.

"Itu harus persiapan yang baik, kalau hanya ngomong-ngomong langsung mengonversi pada 1 April mana bisa, itu bisa menimbulkan kekacauan, infrastrukturnya dulu harus dibuat secara lengkap," katanya di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, konversi BBM ke gas yang digunakan oleh mobil tidak semudah konversi minyak tanah untuk bahan bakar kompor ke gas. Konversi pada mobil, menurut dia, lebih rumit dibandingkan konversi pada kompor. Konversi kompor lebih mudah karena penggunanya menetap di satu tempat dan tidak bergerak. Sedangkan mobil, terjadi pergerakan sehingga dibutuhkan fasilitas pengisian gas yang tersebar dan cukup banyak di berbagai daerah.

"Dulu minyak tanah kita konversi, kan bisa tidak keluar-keluar kita bangun fasilitas di situ saja cukup, tapi kalau konversi mobil, mobil itu ke Bandung, ke Bogor, Semarang, kalau tidak ada gas gimana?" katanya.

Sementara itu, ia menambahkan, dibandingkan pembatasan BBM dan konversi, kenaikan harga premium lebih realistis dan efisien. Selain itu tidak menimbulkan perbedaan harga yang bisa memicu perselisihan. "Pembatasannya sama saja menyuruh orang untuk membayar lebih mahal, sama saja menaikkan harga BBM, lebih mudah, lebih efisien, dan tidak menimbulkan dua harga," katanya.

Perbedaan harga yang mencolok akan menjadi potensi terjadinya penyelewengan penggunaan BBM bersubsidi. Misalnya para pengguna BBM bersubsidi seperti sepeda motor bisa saja menjual kembali premium yang dibeli di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) kepada para pemilik mobil atau pun muncul pasar-pasar gelap.

Mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris juga menilai kenaikan harga premium lebih realistis dibandingkan dengan pembatasan premium. "Memang pahit, pencabutan subsidi lebih memberi prospek yang lebih baik," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement