Rabu 14 Dec 2011 18:02 WIB

RUU Pengadaan Tanah tak Hormati Tanah Adat

Rep: Esthi Maharani/ Red: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah dinilai tidak menghormati tanah adat. Sebab, dalam rancangan tersebut tidak mempunyai prasyarat hukum yang efektif dengan tidak membahas bagaimana nasib tanah adat.

“Ada pasal yang tidak dirujuk dalam RUU itu,” kata Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Idham Arsyad, Rabu (14/12). Menurutnya, jangan sampai negara melakukan tindakan yang merugikan masyarakat adat karena kepentingan pembangunan.

Masyarakat adat, termasuk tanahnya, perlu diakui dan mendapatkan penghormatan dari negara. Sayangnya, lanjut dia, di RUU tersebut tidak pernah ada pasal mengenai hak adat. “RUU ini tidak membahas bagaimana tanah-tanah itu adalah tanah adat atau bukan,” katanya.

Celakanya, banyak tanah di Indonesia ini yang belum dilegalkan. Tercatat, pada 2004, dari 85 juta bidang tanah baru 26 juta bidang yang bersertifikat. Artinya, hanya 30 persen yang sudah legal. Tanah tersebut belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai masyarakat adat. Maka, ada kemungkinan tanah yang belum disertifikasi jumlahnya lebih besar daripada yang terdata.

“Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, lalu bagaimana dengan nasib tanah-tanah tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak itu?" tanya Idham.

Ia khawatir jika tanah adat itu ‘diserobot’ negara tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat justru akan menimbulkan dan mempertajam konflik sosial. Termasuk konflik yang terjadi di wilayah masyarakat adat.

Hasil pendataan KPA, sepanjang  tahun 2010 telah berlangsung 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai 535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement