REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi (judical review) Pasal 113 Ayat 2, Pasal 114 beserta penjelasannya, dan Pasal 199 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. "Majelis hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata ketua majelis hakim Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di gedung MK Jakarta, Selasa.
Para pemohon adalah Nurtanto Wisnu Barta beserta sebelas rekannya yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah. Dalam pertimbangan majelis yang dibacakan Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengatakan bahwa Pasal 114 menimbulkan penafsiran yang tidak jelas dan tegas, apalagi jika dihubungkan dengan ketentuan sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 199 Ayat 1 UU Kesehatan.
Menurut Akil, kata "dapat" dalam pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum karena penjelasan pasal itu sendiri tidak sinkron dengan Pasal 199 Ayat 1 UU Kesehatan. "Penjelasan Pasal 114 dan Pasal 199 tidak menunjukkan konsistensi sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum," katanya.
Pasal 114 berbunyi: "Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan". Sementara, Penjelasan Pasal 114 menyebutkan: "peringatan kesehatan dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan 'dapat' disertai gambar atau bentuk lainnya".
Akil mengatakan Pasal 114 berikut penjelasannya juga tidak senafas dengan asas dan tujuan yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Kesehatan. Dengan demikian kata 'dapat' dalam Penjelasan Pasal 114 yang tidak mewajibkan perusahaan/produsen rokok telah mengebiri hak konstitusional para pemohon dan masyarakat, khususnya perokok untuk mendapatkan informasi yang dapat mengembangkan diri dan sosialnya sesusi UU Perlindungan Konsumen. "Karena itu, mahkamah menilai kata 'dapat' bertentangan dengan UUD 1945," kata Akil.
Dengan demikian, kata Akil, Pasal 199 ayat 1 menjadi: "Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta".
Sedangkan untuk materi Penjelasan Pasal 114, Akil mengatakan sudah cukup jelas karena ada kata sambung 'dan' sehingga bersifat kumulatif. "Perusahaan rokok wajib mencatumkan peringatan kesehatan dalam bentuk tulisan yang jelas dan mudah terbaca, serta disertai gambar atau bentuk lainnya," katanya.
Akil mengakui, dalam membuat keputusan hakim konstitusi lalai dengan tidak menghapus kata 'bentuk lainnya'. Akibatnya, perusahaan rokok bisa bingung harus mencantumkan definisi bentuk gambar seperti apa yang dimaksud dalam aturan itu, katanya. "Nanti bisa diatur lebih detail dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri Perdagangan," kata Akil.
Sementara untuk permohonan pengujian Pasal 113 Ayat 2 UU Kesehatan MK menolak karena dinilai tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak ditemukan unsur diskriminasi. Pasal 113 ayat 2 berbunyi, "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya. Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditetapkan."