REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Minimnyakata-kata dukungan dari Presiden SBY atas upaya DPD RI melakukan amandemen UUD 1945 di Hari Konstitusi dan HUT ke-66 MPR pekan lalu dilihat sebagai sikap netral SBY.
Namun pakar Hukum Tata Negara, Fadjroel Falakh, menilai dari isi pidato, SBY justru harus mendukung perubahan kelima UUD dilakukan saat ini. "Harusnya mendukung, karena kalau sesuai analisis SBY, suasana sekarang kan sedang tenang, tidak sedang revolusi atau krisis," ujar Fadjroel, Ahad (21/8).
Memang, dalam pidatonya, SBY mengatakan agar amandemen UUD tidak dilakukan dalam keadaan yang tidak jernih dan emosional. Soal imbauan SBY agar amandemen bukan dilakukan berdasarkan dorongan kepentingan, Fadjroel justru menyarankan SBY untuk mengutarakan kepentingannya terhadap isi perubahan UUD.
"Dimana-mana, konstitusi itu mengakomodir kepentingan pihak yang merumuskan. Pertanyaannya, presiden punya kepentingan apa, tapi dia enggak menyatakan juga," kata Fajroel.
Karena itu ia melihat isi pidato presiden Kamis (18/8) pekan lalu hanya sekadar analisis tanpa sikap mendukung atau menghambat proses usulan DPD tersebut.
Mengenai pokok perubahan yang perlu dicermati DPR sebagai pihak yang bersama presiden berwenang mengambil keputusan, Fadjroel meminta konsistensi sistem presidensial dibenahi. Yaitu dengan menggantikan posisi presiden dengan DPD sebagai pihak penentu kebijakan Undang-Undang.
"DPR dan DPD itu, kan wakil rakyat, representasi masyarakat, yang mengatur legislasi, presiden tinggal menjalankan. Tetapi sampai saat ini, justru presiden justru dilibatkan dalam pengesahan undang-undang, sementara DPD tidak dilibatkan," jelas Fajroel.
Sebagai eksekutif, kata Fajroel, silakan saja presiden melalui menterinya ikut melakukan penyusunan undang-undang. Namun saat memutuskan nasib akhir sebuah undang-undang, seharusnya diserahkan penuh kepada DPR dan DPD.