REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dugaan pemalsuan dokumen keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan kursi anggota DPR ditanggapi serius DPR. Komisi II siap melakukan konsyinyering dengan KPU dan Bawaslu sebelum memutuskan membentuk panitia kerja (panja) untuk menginvestigasi persoalan tersebut.
Pembentukan panja terutama dilatarbelakangi laporan Ketua MK, Mahfud MD kepada kepolisian atas dugaan pemalsuan dokumen MK yang dilakukan oleh mantan komisioner KPU, Andi Nurpati. "Minggu depan kami jadwalkan bertemu KPU dan Bawaslu," ujar Ketua Komisi II, Chairuman Harahap.
Selain Andi Nurpati, yang kini menjabat sebagai Ketua Divisi Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat, panja juga akan meminta keterangan dari seluruh anggota KPU yang masih aktif. Laporan MK ke Kepolisian, kata Chairuman, akan menjadi titik tolak bagi panja untuk memulai penyelidikan.
Chairuman menjanjikan panja Andi Nupati akan membuka kebenaran atas polemik pemalsuan dokumen ini. Panja juga akan mencari tahu mekanisme yang dimiliki KPU dalam penetapan anggota dewan karena beberapa kali perubahan keputusan yang dilakukan KPU sangat rawan konflik.
Dugaan pemalsuan dokumen MK oleh Andi Nurpati terjadi pada Agustus 2009 lalu. Pada 14 Agustus 2010, KPU mengirimkan surat kepada MK untuk menanyakan pemilik kursi DPR di Dapil Sulsel, antara Dewi Yasin Limpo dari Hanura dengan Mestariyani Habie dari Gerindra.
MK kemudian mengirimkan jawaban tertulis dengan nomor surat 112/PAN MK/2009. Isinya, pemilik kursi yang ditanyakan jatuh kepada Mestariyani Habie.
Tetapi, KPU ternyata telah menjatuhkan putusan bahwa kursi tersebut diberikan kepada Dewi Yasin Limpo. Putusan ini, versi KPU, didasarkan pada surat jawaban MK tertanggal 14 Agustus, tiga hari sebelum jawaban asli MK kepada KPU.
Keputusan ini membuat MK mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU, dan membandingkannya dengan surat yang benar-benar MK kirimkan pada 17 Agustus. Hasilnya, MK menyatakan surat 14 Agustus yang dijadikan dasar penetapan kursi bagi Dewi Yasin Limpo adalah palsu.
Andi Nurpati diduga sebagai pihak yang memalsukan karena merupakan orang yang membawa faks yang dikatakan sebagai surat jawaban MK 14 Agustus. Padahal, Andi jugalah yang mengambil surat 17 Agustus yang diambilnya langsung ke Gedung MK, yang ternyata tidak disampaikan ke rapat KPU.