REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily menanggapi rencana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Menurutnya, undang-undang tersebut memang harus menyesuaikan kebutuhan dan dinamika yang terjadi.
Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR akan memulai pembahasan revisi UU Kementerian Negara pada hari ini. Baleg akan mendengarkan terlebih dahulu kajian draf tenaga ahli dari pihaknya.
"Saya kira memang yang namanya undang-undang itu harus sesuai dinamika dan kebutuhan pemerintahan. Karena tantangan yang dihadapi pemerintahan tentu dari periode ke periode bisa jadi berbeda-beda," ujar Ace di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
"Karena itu, fleksibilitas undang-undang di dalam mengakomodasi apa yang menjadi visi-misi presiden terpilih, tentu harus dibuka secara lebar," sambungnya.
Ia mengatakan, Indonesia akan menghadapi berbagai tantangan untuk pemulihan ekonomi usai pandemi Covid-19. Kondisi geopolitik dunia juga membuat pemerintah harus berusaha lebih lewat dibentuknya kementerian baru.
"Concern kita terhadap krisis iklim, perubahan iklim, serta persoalan lingkungan tentu harus menjadi satu perhatian khusus. Ini semua tentu harus diakomodasi di dalam Undang-Undang tentang Kementerian supaya kementerian tersebut memang bisa mengakomodasi, bukan hanya aspek politis," ujar Ace.
Dalam beberapa hari terakhir berembus isu penambahan kementerian di pemerintahan Prabowo-Gibran, dari 34 menjadi 40. Aturan penambahan kementerian termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Bab IV UU Kementerian Negara, mengatur khusus tentang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian. Dalam Pasal 12 undang-undang tersebut, terdapat tiga kementerian yang wajib dibentuk dan tak boleh dibubarkan sebagai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Selanjutnya dalam Pasal 13 Ayat 2 UU Kementerian Negara, terdapat empat pertimbangan dalam membentuk kementerian. Keempatnya adalah efisiensi dan efektivitas; cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; dan/atau perkembangan lingkungan global.
"Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden dapat membentuk kementerian koordinasi," bunyi Pasal 14.
"Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34," bunyi Pasal 15 yang membuat isu penambahan kementerian era Prabowo-Gibran menjadi 40 tidak bisa terwujud.