REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Peneliti senior dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, berpendapat, keengganan DPR untuk melakukan sidang bersama DPD saat penyampaian pidato kenegaraan presiden terkait APBN dan nota keuangannya disebabkan khawatir kekuasaannya akan berkurang.
"DPR khawatir dengan keikutsertaan DPD dalam penyampaian pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 16 Agustus nanti, maka kekuasannya akan terbagi dengan DPD. Dengan adanya sidang bersama, akan menjadi 'pintu masuk' DPD untuk juga mendapatkan kekuasaan di parlemen," katanya di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, kalangan DPR enggan berbagi kekuasaannya dalam fungsi pengawasan, "budgeting" dan legislasi dengan DPD, yang selama ini merupakan hak eksklusif DPR. "Selama ini pun, DPR selalu tidak menyetujui rencana DPD untuk mengamandemenkan konstitusi karena DPR khawatir DPD akan memiliki kekuatan di parlemen," katanya seraya mengatakan alasan dari DPR tidak bisa diterima.
Padahal, lanjut dia, untuk menata sistem ketatanegaraan yang ada selama ini, DPR dan DPD harus bekerja sama, sehingga sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi lebih baik. " Bahkan, kalau perlu sidang bersama antara DPR dan DPD untuk mendengarkan penyampaian pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait APBN dan nota keuangannya diperbanyak," ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR John Pieris mengingatkan pimpinan DPR agar menaati UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) terkait penyelenggaraan sidang bersama DPR dan DPD saat penyampaian pidato kenegaraan Presiden RI. "Rapat pimpinan DPR itu tidak boleh merusak sistem ketatanegaraan kita. Sistem ketatanegaraan kita itu ya ada dalam UU MD3 pasal 199 ayat 5," katanya.
Pasal 199 ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5) UU MD3 menyatakan, sebelum pembukaan tahun sidang, anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.
Ia menilai dengan adanya penolakan dari DPR, maka ada semacam arogansi kekuasaan pimpinan. "Itu yang saya pikir harus ditolak. Sebab arogansi itu kalau dibiarkan akan merusak sistem ketatanegaraan kita, merusak etika politik dan etika berparlemen. Karenanya Kalau disepakati itu pasal 199 ayat 5 dan pasal 268 ayat 5, bahwa harus ada sidang bersama maka itu akan jauh lebih baik," katanya.