REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Forum Warga Negara (FWN) menyerukan perlunya koreksi total terhadap tata kelola dan tata cara kepengurusan negara.
Seruan ini disampaikan dalam diskusi bertajuk “Bisul-Bisul Permasalahan Bangsa, di Mana Akarnya?” yang digelar Selasa (7/10/2025) sore di bilangan Ampera, Jakarta Selatan.
Diskusi dibuka Sudirman Said dengan pertanyaan kunci: “Apa sebenarnya akar, sumber, atau biang dari karut-marut permasalahan bangsa hari-hari ini?”
Dia menilai gaya penyelesaian problem nasional selama ini ibarat pemadam kebakaran—reaktif, jangka pendek, dan tak menyentuh akar.
“Akar masalah kita ada pada hilangnya moral leadership,” ujarnya. Kekuasaan, katanya, kini dianggap milik pribadi dan keluarga. “Pada gilirannya, ini menciptakan suasana ‘serbaboleh’.”
Sudirman menyoroti satu tahun pemerintahan Prabowo yang dinilai dinamis namun menyisakan empat tantangan besar yaitu demokrasi yang kering substansi, ketimpangan ekonomi, rusaknya ekologi, serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Praktik korupsi kita hari ini levelnya bukan saja memeras atau merampas hak manusia, lho, tapi juga ‘hak Tuhan’,” tegasnya.
Sementara itu, aktivis Chandra M Hamzah menyebut akar lain dari korupsi yaitu neofeodalisme. “Neofeodalisme tak mengenal korupsi dalam arti maling uang rakyat. Yang ada ialah praktik memonetisasi kewenangan,” jelasnya. Menurutnya, pencegahan harus dimulai dari mereka yang “punya kewenangan paling gede”.
Dari sektor kesehatan, Diah S Saminarsih menyoroti bahwa kesehatan baru dilirik ketika political currency-nya tinggi, seperti menjelang pemilu. “Begitu pemilu lewat, lewat pula isu kesehatan,” ujarnya. Dia menegaskan, kesehatan sejatinya adalah urusan politik.
Sementara itu, Shofwan Al Banna Choiruzzad mengingatkan pentingnya keseimbangan antara politik domestik dan luar negeri. Mengutip Richard Haass, dia menegaskan, “Foreign policy begins at home.”
Dia menilai personalisasi kekuasaan dan buruknya tata kelola pemerintahan membuat negara sangat rentan terhadap tekanan internasional.
Sukidi menambahkan kritik tajam terhadap kepemimpinan nasional. “Kita saksikan presiden terisolasi, hidup di dunianya sendiri sembari memperlakukan negara ini tidak lebih dari negara teater,” katanya.
Dia menyebut populisme yang dipraktikkan saat ini sebagai populisme otoritarian dan menyebut program Makan Bergizi Gratis tak lebih dari kampanye politik untuk Pemilu 2029. “Itu populisme otoritarian. Di situ pula kita saksikan the death of meritocracy dan kakistrokasi.”
Menurut Sukidi, absennya empati elite terhadap penderitaan rakyat telah memicu pembangkangan sipil.
“Jika ini tidak lekas diatasi, saya khawatir kita seperti sedang menunda waktu saja bagi munculnya ledakan kemarahan publik yang lebih besar.” Dia menegaskan, “Republik tanpa keadaban, itu bukan Republik sama sekali, melainkan a nation without character.”
Budiman Tanuredjo mengusulkan agar istilah “pengurus negara” diarusutamakan sebagai antitesis dari “penguasa” atau “pemimpin” negara.
Dia menyoroti DPR yang dinilai kehilangan daya representasi. “Sepuluh jiwa melayang pada rusuh Agustus, ke mana parlemen? Mereka tak bersuara,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Forum Warga Negara membacakan Manifesto Ampera, dengan tiga seruan utama: “Satu Diri, Satu Visi, Satu Solusi.”
Satu Diri: Indonesia diibaratkan tubuh yang satu, dengan bisul-bisul berupa demokrasi dikorupsi, politik tuna-etik, dan rusaknya ekologi.
Satu Visi: Pengurus Negara adalah pekerja dari “empat proyek bernegara”: melindungi bangsa, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan, dan menjaga ketertiban dunia.
Satu Solusi: biang dari semua kerusakan adalah malfungsi kepemimpinan dan runtuhnya keteladanan moral.
“Ketika imbauan dan nasihat makin tak bertaji, peluit harus disemprit, kartu merah harus diangkat,” demikian tertulis dalam Manifesto Ampera yang disampaikan langsung oleh Pendiri Forum Warga Negara yaitu Chandra M. Hamzah, Shofwan Al Banna Choiruzzad, Sudirman Said, dan Sukidi.