REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan Penilai Kesesuaian Seluruh Indonesia (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia/ALSI) menyampaikan keprihatinan atas kondisi yang dialami sejumlah lembaga sertifikasi produk (LSPro) swasta. Hal ini menyusul adanya perubahan kebijakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terkait penunjukan lembaga sertifikasi.
Ketua Umum ALSI, Nyoman Susila, mengungkapkan, selama delapan bulan terakhir, banyak anggota ALSI menghadapi tantangan berat. “Sejumlah LSPro swasta mengalami penurunan signifikan dalam permintaan layanan hingga terpaksa mempertimbangkan efisiensi operasional, termasuk merumahkan karyawan. Kondisi ini tentu memprihatinkan, mengingat kontribusi mereka yang telah puluhan tahun mendukung penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI),” jelas Nyoman dalam siaran pers, Senin (6/910/2025).
Saat ini terdapat puluhan LSPro swasta yang tergabung dalam ALSI, seluruhnya telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan memiliki kompetensi lingkup produk sesuai SNI wajib. Sebagian besar juga telah berinvestasi besar dalam membangun laboratorium uji mandiri dengan nilai investasi mencapai Rp 25–50 miliar per lingkup produk.
Namun, sejak awal 2025, terbit setidaknya 21 surat Keputusan Menteri Perindustrian yang menunjuk Balai Besar Standardisasi milik Kemenperin sebagai pihak utama untuk melakukan sertifikasi sejumlah produk impor tertentu. Sementara itu, peran LSPro swasta lebih banyak terbatas pada sertifikasi produk dalam negeri, yang volumenya relatif kecil.
“Padahal, peran LSPro swasta selama ini tidak hanya membantu industri, tetapi juga mendukung pemerintah dalam memastikan produk yang beredar di pasar memenuhi standar mutu dan keselamatan. Kami khawatir, jika kondisi ini berlanjut, banyak LSPro swasta tidak dapat bertahan,” ungkap Nyoman.
Untuk mencari solusi, ALSI membentuk tim kajian, melakukan serangkaian pertemuan, baik internal maupun dengan pemangku kepentingan, termasuk berdialog dengan Komisi VII DPR RI. ALSI menilai bahwa pengaturan baru ini berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan, menghambat iklim persaingan usaha yang sehat, serta menimbulkan risiko terhadap keberlangsungan independensi dan profesionalitas sistem penilaian kesesuaian di Indonesia.
Mengenai hal yang disoroti Tim kajian ALSI, menurut Nyoman, di antaranya: pertama, mengenai potensi terjadinya ketidaksetaraan antar pelaku usaha dan hambatan dalam menciptakan iklim persaingan sehat. Kedua, adanya potensi ketidaksesuaian dengan regulasi yang berlaku, antara lain PP No. 28 Tahun 2021 Pasal 38 ayat (4) serta Permenperin No. 45 Tahun 2022 tentang Standardisasi Industri pada Pasal 16 ayat (3).
Dengan memperhatikan hal tersebut, ALSI berpendapat agar Kemenperin mempertimbangkan kembali penunjukan LSPro, serta membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi LSPro swasta maupun BUMN. Hal ini diyakini akan menciptakan sinergi yang lebih baik antara lembaga pemerintah dan swasta dalam mendukung daya saing industri nasional.
“Harapan kami, Kemenperin tetap menjaga peran Balai Besar Standardisasi sebagai mitra teknis dan fasilitator industri, sementara LSPro swasta tetap dapat berperan aktif sebagai garda terdepan dalam sertifikasi produk. Kami akan menyampaikan hasil kajian dan rekomendasi ini secara resmi kepada Bapak Menteri,” kata Nyoman.