REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bayu Adji Prihammanda, Jurnalis Republika
JAKARTA - Haryati tidak pernah bercita-cita menjadi petani di ibu kota. Tak lama setelah tamat SMA, perempuan yang kini memiliki tiga anak itu pergi ke Jakarta pada 1999. Tujuan hanya satu, bekerja. Namun, nasib justru membawanya menjadi petani di tengah kota yang omzetnya telah mencapai seratusan juta.
Haryati masih ingat betul awal mula terjun ke dunia pertanian pada 2018 silam. Ketika itu, perempuan yang bertugas sebagai juru pemantau jentik (jumantik) di RW 05, Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur, itu mendapatkan soal lomba "gang hijau" yang digelar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta. Ia pun berinisiatif untuk menghias gang sempit di lingkungan rumahnya itu agar terlihat "hijau".
"Nah, di situlah saya coba untuk menyisihkan uang operasional jumantik saya untuk membeli tanaman, yang saya berikan media tanam untuk saya tanam di sepanjang jalan gang," kata dia saat ditemui Republika, Selasa (30/9/2025).
Dengan uang senilai Rp 500 ribu itu, Haryati rutin membeli berbagai tanaman untuk menghias di gang rumahnya. Namun, upaya itu tidak membawa hasil yang memuaskan. Karena gang rumahnya itu cukup panjang, sehingga tidak mungkin untuk menghijaukannya seorang diri.
Ia pun kemudian mencoba meminta bantuan dari para tetangganya. Melalui grup WhatsApp warga, ia meminta kesediaan orang-orang di lingkungannya itu untuk ikut menyumbangkan tanamanan setidaknya dua pot, tanaman obat keluarga (toga) dan tanaman sayur. Atas gotong royong warga, gang di lingkungan itu mulai tampak lebih indah, sehingga nenjadi binaan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) Provinsi Jakarta.
"Di bawah binaan juga dari Dinas KPKP, kami diajari menanam tanaman hidroponik, dibantu bagaimana cara menyemai, merawat, sampai panen, dan juga bagaimana nanti bisa menghasilkan sesuatu," kata dia.
Sekelompok perempuan yang terlibat itu akhirnya mendirikan Kelompok Wanita Tani (KWT) D'Shafa pada 2018. Dalam kelompok itu, para perempuan itu rutin mengikuti pelatihan yang diselenggarakan berbagai pihak. Hasilnya, mereka terus melakukan inovasi untuk mengolah hasil tanaman sayur dan toga menjadi berbagai produk, seperti kripik kelor, katering, teh bunga telang, bir pletok, dan lain sebagainya.
Tak puas hanya mengandalkan pekarangan sempit di samping gang, KWT D'Shafa mulai menyasar area fasilitas umum untuk dijadikan lahan. Alhasil, para perempuan itu diizinkan untuk menggunakan halaman masjid untuk bercocok tanam.
Seiring berjalannya waktu, usaha KWT D'Shafa terus berkembang. Berbagai dukungan juga mengalir untuk kelompok tersebut. Salah satunya adalah dukungan dari PLN yang membuatkan greenhouse untuk mendukung kegiatan perempuan petani ibu kota itu pada 2021.
Setahun setelahnya, KWT asal Malaka Sari itu berjejaring dengan berbagai komunitas petani kota lainnya. Mereka pun mendapatkan pasar bersama mitra mereka. Setiap bulan, sayur yang dipasok ke mitra itu mencapai 50 kilogram. Namun, kerja sama itu tak berjalan lama karena berbagai alasan. Hingga akhirnya, D'Shafa mulai memberanikan diri membuat pasar sendiri.
"Akhirnya saya mencoba inovasi dengan menjual sayuran-sayuran itu ke pasar tradisional. Saya bawa instalasi, saya promosi ke pasar," kata Haryati.
Hasil usaha itu pun makin membuat D'Shafa berkembang. Orang-orang yang membeli produknya tidak hanya mau membawa sayuran, melainkan juga ingin tahu proses sayuran itu diproduksi.
"Dia malah nanya cara instalasi, bikin greenhouse berapa, nutrisi berapa, kalau bibit berapa gitu. Akhirnya saya bikin katalog, yaudah saya jadi jual jasa, jasa pembuatan greenhouse, pembuatan instalasi, terus kita jual bibit, nutrisi, sayuran, dan kemudian kita inovasi lagi," ujar dia.
Makin lama, KWT D'Shafa sering kedatangan berbagai anak sekolah yang mau belajar bertani. Masalahnya, para perempuan itu belum memiliki layak ideal untuk memberikan edukasi kepada anak-anak itu. Alhasil, Haryati memberanikan diri untuk meminjam lahan terbengkalai milik pemerintah untuk dijadikan tempat edukasi pertanian kepada anak-anak sekolah. Tempat itulah yang kini menjadi basecamp D'Shafa.
Di tempat dengan luas sekitar 900 meter persegi itu kini KWT D'Shafa berkegiatan. Mulai dari greenhouse, ruang UMKM, ruang produksi, hingga area edukasi, terdapat di tempat yang tepat berada di depan Pasar Klender. Di tempat itu pula Haryati menerima kedatangan Republika, siang itu.
"Di sini sekarang menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) D'Shafa. Nah di sini saya mencoba inovasi lagi untuk agar lebih dikenal lagi dan juga bahwasannya berkebun itu banyak sekali peluang nilai bisnisnya. Kami bisa menjual tadi jasa, kita bisa menjual produknya, terus akhirnya kita menjual agro eduwisatanya, termasuk edukasi," ujar Haryati.
Ratusan juta
Haryati mengatakan, saat ini KWT D'Shafa tidak hanya menjual produk hasil pertanian dan olahannya. Lebih dari itu, kelompok perempuan yang berasal dari gang sempit tersebut juga menjual jasa edukasi dan wisata.
Menurut dia, dalam seminggu, tempatnya itu bisa dua kali didatangi oleh anak-anak sekolah yang ingin belajar menanam. Karena itu, ia pun membuat paket edukasi untuk mengajari anak-anak bercocok tanam.
"Paket edukasinya itu kalau secara sederhana untuk anak-anak pemula, TK, SD, itu menanam secara konvensional. Contohnya kita berikan media tanam tanah, pot, bibit, benih. Caranya ya gitu nanti bikin kelompok mereka," kata dia.
Dalam paket edukasi itu, KWT D'Shafa juga menyiapkan sebuah goodie bag berisi media tanam untuk belajar di rumah, satu buket sayur, jus sayur atau keripik kelor. Melalui paket itu, hasil pertanian dari KWT D'Shafa bisa terserap.
"Nah itulah akhirnya saya bisa bikin pasar sendiri kan, saya nggak perlu tergantung dengan mitra di luar sana. Kadang dari luar, dari masyarakat umum, nggak hanya sekolah saja yang datang ke sini," ujar Haryati.
Ia mengungkapkan, saat ini omzet KWT D'Shafa per bulannya rata-rata telah mencapai seratusan juta rupiah. Mengingat, saat ini KWT D'Shafa sudah memiliki banyak lini usaha, mulai dari katering, edukasi, penjualan bibit, jasa, makanan olahan, dan lain sebagainya.
"Alhamdulillah itu dari beberapa sudut ya mas ya, ini nggak cuma di kebun ya. Kalau di kebun mungkin kecil, itu saya sekarang sudah di angka Rp 175 juta per bulan. Itu dari katering, dari edukasi, dari kebun, dari penjualan bibit dan lain-lain," kata dia.
Menurut Haryati, ada 16 orang yang kini menjadi anggota KWT D'Shafa. Meski begitu, dampak ekonomi dari kegiatan yang dilakukan KWT sudah dirasakan lebih dari 50 orang. Pasalnya, KWT juga selalu memberdayakan perempuan, yang rata-rata ibu rumah tangga dan janda, di sekitar lingkungan Malaka Sari untuk mendukung usaha mereka.
"Ini rata-rata semua perempuan, enggak ada laki-laki, dan itu rata-rata mereka itu banyak yang single parent, karena janda juga," ujar dia.
Haryati mengaku sengaja memilih ibu dan janda untuk membantu usahanya. Pasalnya, kegiatan bertani itu juga dimulai dari kondisinya yang ketika itu baru berpisah dengan suaminya.
Ibu yang sama sekali tidak memiliki latar belakang di bidang pertanian itu tahu betul pentingnya menjadi perempuan mandiri. Pasalnya, tidak ada yang tahu nasib hari esok bakal dibawa ke mana.
"Saya itu mas, dulu saya itu ibu rumah tangga yang benar-benar sama suami itu tidak boleh keluar, tapi pada saat tahun 2019 itu saya terjadi, apa namanya, keretakan rumah tangga ya. Di situ kayak pukulan berat buat saya, buat anak-anak saya. Nah inilah obatnya saya. Saya harus bermanfaat untuk orang banyak," kata perempuan yang kini berusia 45 tahun itu.
Peran YDBA
Haryati mengungkapkan, segala kesuksesannya itu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang mendukungnya, termasuk dari Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), salah satu pelaksana Corporate Social Responsibility PT Astra International Tbk yang didirikan oleh Founder Astra, William Soeryadjaya pada 1980. Menurut dia, para pendamping dari YDBA terus menemani KWT D'Shafa mengembangkan usaha sejak 2020 hingga hari ini.
"Tahun 2020, kami mendapatkan pendampingan dari YDBA bagaimana membuat bisnis plan-nya. Terus kita diajar, ke depan itu seperti apa sih?" kata dia.
Haryati mengatakan, awalnya ia berpikir bahwa bertani itu hanya sekadar menanam dan menjual. Namun, bertani ternyata lebih dari sekadar itu.
Menurut dia, pada pendamping dari YDBA membantunya untuk memformulasikan bisnis pertanian dengan benar. Bahkan, ia juga diajari membuat katalog produk, proposal, hingga cara berjualan yang elegan. Bahkan, untuk sekadar membuat bahan presentasi pun para pendamping dari YDBA ikut mengajarkan.
"YDBA ini yang justru paling penting perannya. Mereka mendampingi membuat pola-pola untuk tersampaikan angan-angan kita, proposal tadi, yang kunci yang jadi kunci utamanya. Di situlah pendampingan ini yang saya perlukan," kata dia.