"Selama 30 tahun, kami jadi kelinci percobaan Prancis," kata Hinamoeura Morgant-Cross, seorang anggota parlemen muda asal Polinesia Prancis, sebuah gugus pulau di Samudra Pasifik Selatan. Tahiti termasuk di dalamnya.
Pantai berpasir putih, nyiur melambai, dan laut biru toska sering membuat wilayah ini digambarkan sebagai "surga tropis". Namun, di balik itu tersimpan warisan kelam: selama tiga dekade, militer Prancis melakukan uji coba senjata nuklir di atol Mururoa dan Fangataufa.
Totalnya 193 bom nuklir diledakkan di wilayah seberang laut Prancis ini. Penduduk setempat menyebutnya Ma'ohi Nui. Uji coba pertama dilakukan pada 2 Juli 1966 dengan nama sandi "Aldébaran".
"Kami diracuni demi ambisi Prancis..."
Morgant-Cross kini duduk di atas podium di Berlin, 15.000 kilometer dari tanah kelahirannya, dalam acara yang diselenggarakan oleh Federasi Dokter Internasional Pencegahan Perang Nuklir (IPPNW). Dia menceritakan dampak mengerikan uji coba nuklir tersebut yang masih terasa hingga kini. Jumlah penderita kanker jauh di atas rata-rata, banyak anak lahir dengan cacat bawaan, air serta tanah terkontaminasi.
"Dengan uji coba nuklir mereka, mereka meracuni lautan yang menjadi sumber seluruh makanan kami," ujar Cross, yang juga pernah berbicara di Sidang Umum PBB (UNGA) New York. "Kami diracuni demi ambisi Prancis untuk menjadi negara adidaya nuklir."
Mitos "Bom yang Bersih"
Pemerintah Prancis saat itu dengan sengaja menipu penduduk setempat terkait bahaya uji coba nuklir. Presiden Charles de Gaulle mengklaim, bom nuklir Prancis "hijau dan sangat bersih," berbeda dengan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima, sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan. "Itu hanya propaganda Prancis," tegas Morgant-Cross.
Faktanya, awan radioaktif menyebar ke berbagai wilayah di Pasifik Selatan, bahkan mencapai Pulau Tahiti yang jaraknya lebih dari 1.000 kilometer dari lokasi uji coba. Penduduk di pulau-pulau terdekat sering kali tidak diberi informasi, apalagi dievakuasi.
Prancis Belum Meminta Maaf
Butuh waktu 30 tahun hingga pemerintah Prancis untuk menghentikan uji coba senjata nuklir itu. Penghentian ini terjadi setelah gelombang protes besar-besaran di dalam dan luar negeri terjadi di tahun 1996. Hingga kini, Prancis tidak pernah secara resmi meminta maaf atas kerusakan yang ditimbulkan di wilayah tersebut.
Saat berkunjung ke Polinesia Prancis pada 2021, Presiden Emmanuel Macron mengakui kesalahan. ”Kesalahan kami adalah karena kami melakukan uji coba ini.” Bahkan mengakui, "Kami tidak akan pernah melakukan uji coba semacam ini di wilayah Prancis seperti Creuse atau Bretagne.”
Peringatan 26 September menjadi pengingat dari PBB dan berbagai LSM kepada negara-negara pemilik senjata nuklir, tentang kewajiban mereka. Namun, penderitaan para korban uji coba kini hampir terlupakan.
Generasi muda dari wilayah bekas uji coba nuklir kini mulai bangkit, membentuk gerakan lintas negara untuk menuntut pertanggungjawaban.
Morgant-Cross, yang kini menjadi anggota parlemen di ibu kota Tahiti, Papeete, lebih lanjut berbicara tentang penderitaan keluarganya. Neneknya, yang berusia 30 tahun saat uji coba dimulai, menderita kanker tiroid, begitu juga dengan ibu dan tantenya. Cross yang lahir pada 1988 dan saudara perempuannya juga menderita kanker.
"Warisan buruk" untuk generasi selanjutnya
Para ahli menjelaskan bahwa tingginya kasus kanker dalam keluarga Cross merupakan akibat paparan radiasi nuklir. Radiasi dapat menyebabkan kerusakan genetik yang diwariskan ke generasi berikutnya.
Jana Baldus, pakar senjata nuklir dari Jaringan Kepemimpinan Eropa (ELN), mengatakan "Hal berbahaya dari radiasi adalah dampaknya dapat berlangsung lintas generasi. Risiko kanker meningkat pesat, termasuk kanker kelenjar getah bening dan leukemia."
Selain itu, radiasi juga memengaruhi kesuburan dan kehamilan, ”Perempuan yang terpapar radiasi selama uji coba sering mengalami keguguran, dan melahirkan bayi dengan cacat bawaan," jelas Baldus. "Kerusakan genetik ini bisa diwariskan, menyebabkan infertilitas pada generasi berikutnya,” ujarnya.
Menuntut Prancis menyediakan fasilitas kesehatan yang layak
Kasus kanker dalam keluarganyalah yang mendorong Morgant-Cross terjun ke dunia politik. Ia menuntut Prancis memberikan dukungan medis yang layak.
"Kami tidak memiliki fasilitas kesehatan yang seharusnya kami dapatkan. Dari segi obat-obatan, kami tertinggal 30 tahun. Bahkan alat seperti USG pun tidak kami punya. Kami pantas mendapatkan rumah sakit yang lebih baik dan perawatan yang layak," tegas Cross.
Hanya sedikit korban yang mendapat kesempatan pergi ke Paris untuk menjalani pengobatan.
Pada 2010, pemerintah Prancis mengesahkan undang-undang untuk memberikan kompensasi korban uji coba nuklir. Namun, setiap kasus harus dibuktikan secara rinci. Baldus mengkritik prosedur tersebut mengatakan ”Korban harus membuktikan bahwa mereka berada di lokasi persis saat uji coba berlangsung, ini hampir mustahil setelah sekian dekade berlalu."
Selain itu, daftar penyakit yang berhak mendapat kompensasi juga sangat terbatas. Menurut data LSM ICAN, hanya 417 warga Polinesia Prancis yang menerima kompensasi pada tahun 2010 hingga Juli 2024.
Bagi Cross, perjuangan bukan hanya soal kompensasi, tetapi juga melawan narasi palsu yang masih hidup di kalangan masyarakat. "Selama puluhan tahun, gambar-gambar jamur ledakan nuklir tergantung di ruang tamu kami, karena kami diajarkan untuk bangga dipilih oleh Prancis," ujarnya.
Kini, ia berjuang untuk mengubah pola pikir kolonial tersebut dan membangun kesadaran tentang dampak nyata uji coba nuklir.
Apakah uji coba akan kembali dilakukan?
Selain Prancis, negara-negara seperti Uni Soviet, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina juga melakukan rangkaian uji coba besar-besaran. Secara total, lebih dari 2.000 ledakan nuklir terjadi di seluruh dunia. Radioaktif yang dihasilkan tidak hanya mencemari lokasi uji coba, tetapi juga meningkatkan tingkat radiasi global.
Perjanjian internasional seperti Larangan Uji Coba Nuklir (1996) sempat menghentikan uji coba nuklir. Delapan negara belum meratifikasi perjanjian tersebut antara lain Amerika Serikat, Cina, India, Pakistan, Iran, Israel, Korea Utara, dan Mesir. Rusia telah mencabut ratifikasinya di tahun 2023.
Namun, selain Korea Utara tidak ada negara lain yang melakukan uji coba dalam beberapa tahun terakhir.
Meski begitu, dengan situasi politik global yang memanas, para ahli memperingatkan kemungkinan dimulainya kembali uji coba nuklir tidak dapat dipungkiri.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Agus Setiawan