Sabtu 20 Sep 2025 06:06 WIB

Kenapa Peramal Cuaca di AS Jadi Target Kebencian Penyangkal Iklim?

Email berisi ancaman pembunuhan menandai akhir dari karir seorang meteorologis di Amerika Serikat. Pakar mencatat, perang menyangkal perubahan iklim oleh kaum konservatif kini menyasar pembawa acara prakiraan cuaca.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
privat
privat

Chris Gloninger membuka email pada suatu pagi, dan menemukan pesan dari seorang penonton yang menanyakan alamat rumahnya, dengan alasan ingin memberinya sebuah sambutan yang akan dia ingat.

Da teringat kisah seorang pria yang datang ke rumah hakim agung Brett Kavanaugh, beberkal sepucuk pistol dan tali pengikat. "Jantung saya berdegup kencang dan saya merasa lumpuh,” kenangnya.

Gloninger bukan politikus. Dia seorang peramal cuaca. Dan sejak dia menjabat sebagai kepala meteorologi, kotak pesannya berubah jadi ladang ancaman. Email bernada ancaman itu akhirnya menggerakkannya untuk menghubungi polisi dan mengevakuasi diri dan isterinya ke sebuah hotel.

Kebencian daring terhadap peramal cuaca

Sebagai jurnalis yang bertugas mengkomunikasikan perubahan iklim, pembawa acara ramalan cuaca di TV ikut menanggung dampak dari maraknya misinformasi, dan teori konspirasi yang memicu kebencian di media sosial.

Gloninger menganggap perubahan iklim sebagai isu terpenting di masa kini, dan aktif mengupaykan tempat utama dalam pemberitaan di televisi.

Dia dulu pindah ke Iowa, negara bagian yang kian konservatif sejak Trump terpilih.

Setelah bekerja di Des Moines, Gloninger menyesuaikan liputannya di Iowa dengan riset iklim teranyar. Dia mencoba menjelaskan dengan sederhana, bagaimana kekeringan mengganggu ladang jagung, atau bagaimana cuaca ekstrem menyulitkan petani.

Saat itulah email mulai berdatangan. Awalnya berupa penolakan biasa, lalu meningkat menjadi ancaman agresif. Dia melihat bagaimana sebagian penonton mulai mempolitisasi sains.

"Mereka berkata, kami bosan dengan agenda liberal ini,” ujar Gloninger. "Padahal ini tak seharusnya tentang politik, karena ini adalah sains yang didukung 99% komunitas akademik.”

Sejarah panjang misinformasi

Kini, misinformasi dan teori konspirasi iklim merajalela di dunia maya, meski konsensus ilmiah sudah jelas bahwa perubahan iklim memicu cuaca ekstrem yang akan terus memburuk seiring meningkatnya suhu global.

Akar persoalan ini bisa ditelusuri sejak pertengahan abad lalu. Sejak 1960-an, perusahaan energi tahu pembakaran batu bara dan minyak menaikkan suhu bumi. Tapi mereka memilih menyangkal. Kini ketika gletser meleleh dan banjir menghanyutkan kota, menyangkal tak lagi cukup. Maka lahirlah bentuk baru: delayism. Menunda. Meragukan solusi. Atau mewarnai perusahaan dengan cat hijau agar tampak ramah iklim.

Penelitian pada 2024 menunjukkan industri energi fosil dan petrokimia menghabiskan jutaan dolar mengiklankan klaim sesat soal komitmen iklim perusahaan. Faktanya, sektor migas hanya menginvestasikan 1% dari total pendapatan global pada energi bersih, dan tetap aktif mencari ladang minyak serta gas baru.

Jaringan aktor misinformasi yang kompleks

"Jaringan di balik misinformasi iklim kini sangat rumit,” kata Ece Elbeyi, peneliti di Universitas Kopenhagen, Denmark.

Misinformasi tidak hanya melibatkan pihak yang ingin memperlambat aksi iklim bersama pelobi, tapi juga media, troll, ladang bot Rusia, hingga influencer yang memperbesar misinformasi di media sosial, di mana algoritma lebih menguntungkan konten bernada emosional.

"Aktor politik, terutama dengan basis nasionalis atau konservatif, mengeksploitasi misinformasi untuk menggerakkan pendukungnya," kata Elbeyi. "Mereka mungkin tak secara eksplisit menyangkal perubahan iklim, tapi membingkai solusi iklim — misalnya perjanjian internasional atau regulasi karbon — sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional atau kebebasan ekonomi.”

Melawan aksi iklim kini menjadi isu identitas politik, dan karena itu lebih sulit ditantang. Identitas inilah, tambah Elbeyi, yang membuat seseorang bisa ikut menyebarkan misinformasi atau mengirim pesan penuh kebencian kepada orang seperti Gloninger.

Lahan subur teori konspirasi

"Kadang misinformasi berkembang menjadi teori konspirasi liar, yang bersirkulasi di antara orang-orang dengan tingkat paranoia, ketakutan, atau egosentrisitas tinggi," jelas Daniel Jolley, profesor psikologi di Universitas Nottingham.

Konspirasi bisa memberi rasa berharga atau nyaman, dengan melukiskan kelompok berkuasa lain sebagai "jahat,” dan sering meningkat setelah bencana.

Setelah banjir bandang mematikan di Texas musim panas lalu, konspirasi daring bermunculan dengan menuduh ilmuwan dan lembaga pemerintah merekayasa bencana itu lewat teknologi penyemaian awan.

"Orang berusaha menjelaskan masalah besar yang membuat kita merasa tak pasti, cemas, dan terancam,” kata Jolley. Ia memperkirakan, karena iklim terus berubah, misinformasi dan konspirasi cuaca akan makin menonjol.

Meteorolog, katanya, menjadi sasaran karena merekalah komunikator sains iklim paling terlihat.

Bagaimana tangkal misinformasi?

Baik Jolley maupun Elbeyi menekankan pendidikan sebagai kunci, agar masyarakat bisa mengenali misinformasi.

Elbeyi menyebutkan, ini harus melibatkan kelompok rentan dalam perdebatan, sebab misinformasi berkembang saat kelompok merasa keputusan dibuat tanpa mereka, bahkan melawan mereka. "Dan pengecualian ini bisa langsung mengikis kepercayaan publik pada ilmuwan dan sains secara umum.”

Dalam menghadapi teori konspirasi, Jolley menyarankan membangun kepercayaan dan berempati pada alasan orang mempercayainya, ketimbang sekadar membantah. Dia juga menekankan perlunya dukungan bagi mereka yang menjadi korban serangan, seperti Gloninger.

Setelah ancaman pembunuhan, Gloninger menjalani terapi dan didiagnosis menderita PTSD, gangguan stress pascatrauma. Dia tak bisa tidur, kulitnya rusak, kesehatannya runtuh.

Pelaku akhirnya ditangkap polisi meski cuma dikenai denda USD150. Dan Gloninger tetap bekerja di stasiun TV. Tapi setelah manajemen dibanjiri email dari sekelompok kecil penonton agresif, dia diminta berhenti membahas perubahan iklim.

Gloninger memilih berhenti daripada tetap bekerja sambil mengabaikan isu iklim. Dia mengaku keputusan itu masih sulit diceritakan.

Meski begitu, dia merasa telah memberi dampak dengan membawa kesadaran perubahan iklim kepada audiens konservatif. Dia menyimpan folder besar berisi pesan positif dari pemirsa.

Gloninger menilai mundur karena kebencian daring akan menjadi kesalahan.

"Saya pikir kini liputan perubahan iklim memang berkurang karena ada ketakutan terhadap serangan balik,” katanya. "Saya justru mendorong para meteorolog untuk melipatgandakan usaha mereka.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Agus Setiawan

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement