Setelah hampir 10 tahun negosiasi, Indonesia dan Uni Eropa (UE) akhirnya sepakat menandatangani Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) alias perdagangan bebas pada 23 September 2025 di Bali. Dari sekian banyak sektor, sawit menjadi isu paling krusial.
Meski tarif impor sawit dihapus, jalan ke pasar Eropa tak otomatis mulus. Uni Eropa misalnya mewajibkan produk impor bebas dari deforestasi, melalui aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR). Pertanyaannya, apakah sawit Indonesia benar-benar bisa melenggang ke pasar Eropa atau justru terhambat oleh "pagar hijau" EUDR?
Tarif sawit dihapus, peluang baru buat Indonesia?
Salah satu capaian terbesar dalam IEU-CEPA adalah penghapusan tarif impor sawit dan produk turunannya. Tarif yang sebelumnya berkisar 8-12% kini turun menjadi 0% sehingga produk sawit Indonesia akan lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara pesaing yang tidak memiliki perjanjian dagang dengan Uni Eropa.
Dikutip dari Antara, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut sawit Indonesia akan memperoleh fasilitas tarif nol sejak perjanjian mulai berlaku (entry-into-force). Dengan begitu, manfaatnya bisa langsung dirasakan pelaku industri tanpa harus menunggu masa transisi panjang.
Airlangga juga menegaskan, dengan adanya IEU-CEPA, minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya kini lebih diterima di pasar Eropa, meskipun selama ini komoditas tersebutkerap menghadapi stigma deforestasi dan berbagai hambatan regulasi. Airlangga juga memperkirakan kesepakatan ini akan membuka keran ekspor karena 80% produk Indonesia akan bebas tarif di Eropa.
Tarif nol bukan jaminan, ujian deforestasi menanti
Meski peluang besar terbuka, jalan ke pasar Eropa tetap tidak mudah. Uni Eropa tetap memberlakukan EUDR, aturan yang mengharuskan produk sawit bebas dari deforestasi. Regulasi ini akan mulai berlaku penuh di Indonesia pada 30 Desember 2025.
Menurut Komisi Eropa, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan risiko menengah. Konsekuensinya, ekspor sawit Indonesia akan menjalani pemeriksaan lebih ketat. Mulai dari traceability atau pelacakan lahan asal, sertifikasi legalitas, hingga due diligence oleh importir Eropa.
Kepada DW Indonesia, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menilai isu deforestasi menjadi salah satu pembahasan paling alot dalam perundingan. Ia menyebut regulasi seperti EUDR berpotensi menjadi tantangan non-tarif signifikan.
"Indonesia dari segi tarif sudah bisa lebih bersaing dibandingkan negara-negara penghasil minyak nabati lain, tetapi tuntutan masalah lingkungan ini jangan dianggap hambatan. Justru dengan hadirnya IEU-CEPA, pintu ke pasar global sudah terbuka lebar, maka sertifikasi dan due diligence harus segera dipenuhi,” jelas Bhima.
Ia juga menekankan pentingnya mengubah sudut pandang. "Kalau pengusaha melihat standarisasi sebagai biaya tambahan, konsumen Eropa justru memandangnya sebagai kebutuhan. Karena mereka lebih melek isu lingkungan, menyesuaikan standar konsumen di negara tujuan ekspor jadi keharusan,” tambahnya.
Siapkah industri sawit menjawab tuntutan hijau?
Bagi pelaku industri, penandatanganan IEU-CEPA jelas membuka peluang besar. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyebut kesepakatan ini sebagai jalan penting untuk memperluas akses sawit Indonesia ke pasar global. Namun, ia juga mengingatkan, tantangan dari EUDR masih belum terselesaikan.
"EUDR sebetulnya bagi perusahaan besar tidak terlalu masalah, terutama yang tergabung dalam GAPKI. Tantangannya justru ada di smallholders atau petani swadaya karena belum ada aturan pemerintah yang jelas terkait pembukaan kebun mereka,” kata Eddy.
Ia menegaskan, tanpa sistem traceability nasional yang diakui Uni Eropa, risiko penolakan ekspor tetap tinggi. "Ketika hambatan tarif sudah dihapus, tapi tidak comply dengan hambatan non-tarif seperti EUDR, maka fasilitas tarif nol tidak ada gunanya,” ujarnya kepada DW.
Ancaman buat petani kecil dan alam masih mengintai
Di balik peluang ekspor, risiko sosial dan lingkungan tetap menghantui. Petani kecil, yang menguasai lebih dari 42% kebun sawit nasional, kerap kesulitan memenuhi persyaratan traceability dan sertifikasi legalitas. Tanpa bantuan dari pemerintah, petani kecil terancam tersisih dari bisnis ekspor.
Ketimpangan ini bisa memperlebar jarak karena perusahaan besar relatif siap menghadapi regulasi, sementara petani swadaya kian terpinggirkan bahkan berpotensi menghadapi diskriminasi dan konflik lahan.
Kekhawatiran serupa disuarakan WALHI dan Indonesia for Global Justice (IGJ). Keduanya menilai skema sertifikasi berkelanjutan berisiko menjadi alat greenwashing, yakni perusahaan membangun citra "hijau” tanpa perubahan nyata di lapangan.
Akibatnya, produk sawit Indonesia bisa saja lolos verifikasi administratif, tetapi tetap meninggalkan jejak deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga pelanggaran hak masyarakat adat. Hal ini bisa menimbulkan paradoks: sawit Indonesia lolos di atas kertas, tetapi tetap meninggalkan jejak deforestasi dan kerusakan ekosistem.
Kesepakatan IEU-CEPA, dengan demikian, sekaligus menjadi ujian bagi narasi global tentang sawit Indonesia. Bhima menegaskan, "Jika standar EUDR tidak dipenuhi, Indonesia justru berisiko semakin terjebak dalam stigma negatif, yaitu sawit sebagai komoditas yang murah, tapi merusak lingkungan.”
Lebih lanjut ia menekankan, kegagalan memanfaatkan momentum ini bisa membuat Indonesia kehilangan akses ke pasar premium dan terpaksa mengandalkan pasar non-UE yang lebih sensitif pada harga, tetapi kurang memberi nilai tambah pada citra keberlanjutan.
Indonesia vs. Negara ASEAN penghasil sawit non-FTA
Keunggulan tarif dari IEU-CEPA membuat Indonesia lebih kompetitif dibandingkan negara ASEAN lain yang belum memiliki FTA dengan Uni Eropa. Namun, keunggulan ini tidak otomatis menjamin dominasi Indonesia di semua lini.
Menurut Ombudsman RI, produktivitas sawit Indonesia rata-rata hanya 12,8 ton tandan buah segar (TBS) per hektare, jauh di bawah Malaysia yang bisa mencapai 19 ton TBS per hektare dengan sertifikasi MSPO. Pada 2024, selisih 5,2 ton per hektare ini berpotensi menimbulkan kerugian hingga Rp185 triliun.
Selain produktivitas, Malaysia juga lebih unggul dalam standar sertifikasi dan efisiensi logistik. Namun, Bhima Yudhistira menegaskan, "Malaysia, Thailand, dan Filipina sama-sama menghadapi tantangan EUDR. Semua negara ini wajib membuktikan sawit mereka bebas deforestasi, meski tanpa insentif tarif nol seperti yang diperoleh Indonesia.”
Lebih lanjut Bhima menjelaskan, penghapusan tarif 8-12% memberi Indonesia keunggulan harga di pasar Eropa. Jika mampu memenuhi standar EUDR, peluang merebut pangsa pasar Malaysia pun terbuka lebar. Data BPS 2023 menyebutkan, Indonesia memproduksi 47 juta ton CPO pada 2023, jumlah ini mendorong kapasitas Indonesia untuk memanfaatkan peluang ini juga jauh lebih besar dibandingkan negara ASEAN non-FTA.
IEU-CEPA jadi jalan mulus atau perangkap baru?
Peluang ekspor kini terbuka lebar, tak hanya untuk CPO, tetapi juga produk turunan bernilai tambah seperti biodiesel, oleochemical, hingga kosmetik berbasis sawit. Namun, menurut Bhima Yudhistira, "Keuntungan dari IEU-CEPA hanya bisa maksimal jika Indonesia mampu menjawab tantangan regulasi. EUDR tetap menjadi ujian utama: tanpa kepatuhan pada standar keberlanjutan dan sistem traceability yang kredibel, fasilitas tarif nol akan sulit dimanfaatkan.”
Capaian perdagangan ini juga membawa implikasi yang tak bisa diabaikan. WALHI dan IGJ mengingatkan, ancaman deforestasi masih membayangi jika ekspansi lahan tidak dikendalikan. Kesenjangan antara perusahaan besar dan petani kecil berisiko makin melebar, mengingat perusahaan lebih siap menghadapi tuntutan EUDR, sementara petani swadaya berpotensi tersisih dari rantai pasok. Di sisi lain, penerapan sertifikasi keberlanjutan bisa berujung pada greenwashing, jika hanya sebatas klaim di atas kertas tanpa perubahan nyata di lapangan.
Editor: Prita Kusumaputri, Hani Anggraini, dan Rizki Nugraha