REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Forum Warga Negara untuk kali kedua menggelar diskusi publik. Berlangsung pada Kamis sore (4/9/2025) di Jakarta, diskusi mengusung tajuk “Indonesiaku: Apa Kata Dunia!”
Sejumlah warga negara pembayar pajak saling merapat, dan lalu berhimpun, untuk mengabarkan persepsi dunia internasional terhadap kondisi mutakhir negeri.
Mereka juga berbagi cerita terkait isu geopolitik atau geoekonomi strategis, implikasi yang perlu disadari, serta berbagi pandangan mengenai apa yang seharusnya kita tempuh. Bagi para diaspora, forum ini juga menjadi wahana curah suasana batin terhadap kondisi Tanah Air hari-hari ini serta kanalisasi harapan terkait perbaikannya.
Narasumber yang hadir secara luring adalah Shofwan Al Banna Choiruzzad, dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
Adapun narasumber daring adalah Anthony Paulo Sunjaya (dosen senior di School of Population Health, Fakultas Kedokteran, UNSW Sydney) dan para diaspora lainnya. Diskusi dipandu oleh Chandra Marta Hamzah, komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi era 2007–2011.
Anthony dan sejumlah diaspora di Australia prihatin kondisi Tanah Air. Dia menekankan pentingnya mengambil tindakan-tindakan segera untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat, baik dalam maupun luar negeri, atas mutu Pengurus Negara kita dalam, tentunya, mengurus negara.
Anthony dan kawan-kawan mendesak, antara lain, bentuk tim pencari fakta independen untuk menginvestigasi pelanggaran dan pelanggar hak asasi manusia yang terjadi di lapangan.
"Tindak tegas yang bersalah. Jauhi pendekatan militerisasi berikut intervensi yang terlalu dalam/jauh aparaturnya dalam menangani keamanan, apalagi sampai ke arah Darurat Sipil," kata dia dalam keterangannya, Jumat (5/9/2025).
“Di atas itu semua, yang jauh lebih penting adalah, reaksinya jangan hanya bersifat reaktif, tapi harus substansial, menyentuh akar masalah,” tegasnya.
Kebanyakan diaspora menyampaikan frustasi karena momentum yang seharusnya bagus sekali diambil oleh pengurus negara untuk berbenah, tak kunjung diambil.
Di Canberra, Australia, muncul gerakan “Canberra Bergerak”. Juga di Jepang dan lain-lain. Keprihatin tinggi ditujukan pada semakin tertutupnya ruang demokrasi. Demokrasi yang berjalan saat ini semata dari elite untuk elite.
“Masak rakyat harus ada yang mati terlebih dulu agar didengar? Maka, teruslah berisik agar didengar!” seru Mahasiswi S3 Australian National University, Avina Nadhila.
Shofwan menjelaskan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri tidak terlepas dari dinamika luar negeri. Saling memengaruhi. Peristiwa domestik ditangkap oleh, dan memengaruhi, dunia internasional.
Begitu pula sebaliknya. Pemandangan dalam negeri kita hari-hari ini, ungkap Shofwan, jika diringkas, adalah pemandangan meningkatnya uncertainty (ketidakpastian) dari berbagai pihak dan anjloknya trust (kepercayaan) rakyat terhadap kinerja pengurus negara.
“Pelemahan institusi menyebabkan disfungsi mekanisme demokrasi. Disfungsi mekanisme demokrasi membuat suara rakyat jadi tidak lagi relevan. Alhasil, setiap muncul kekecewaan atau ketidakpuasan rakyat, alih-alih tidak punya kecakapan menanggapi, eh, malah dijogetin,” ujar peneliti rumpun ilmu sosial-humaniora dengan dampak riset terbaik pada Dies Natalis ke-74 Universitas Indonesia itu.
Hadir dalam diskusi itu antara lain Halida Nuriah Hatta (putri bungsu Proklamator Mohammad Hatta) dan wartawan senior Budiman Tanuredjo.
Disfungsi instrumen demokrasi sangat menarik perhatian Budiman. Seturut amatannya, baik di unjuk rasa 25 maupun 28 Agustus 2025, hampir semua aparatus demokrasi kita (partai politik, organisasi massa, dan lain-lain) berdiam diri.
Selama 36 jam terakhir, yakni 28 hingga 30 Agustus, terasa sekali elite bingung bagaimana harus bersikap/memutuskan.
Padahal, melalui teknologi informasi mutakhir, semua kejadian itu lebih mudah diakses dan dipantau dibanding era-era sebelumnya.
Yang lebih mendesak, imbuh Budiman, semua tuntutan yang muncul—“17+8”, Gerakan Nurani Bangsa, Change.org, Forum Warga Negara, dsb—harus bisa dikonsolidasi serapi mungkin. Penyelesaiannya tidak boleh sporadis, melainkan harus mengutamakan dan menyentuh akar masalah.
Bambang menyodorkan solusi struktural, “Perlu dibentuk tim atau semacam ‘komite reformasi’ independen.
Isinya adalah orang-orang yang integritasnya bereputasi tinggi agar punya otoritas kuat dalam mengawal semua tuntutan, mereformasi semua lini pengurus negara, sambil juga mengerjakan semacam tim pencari fakta.”
Kata Shofwan, jika momentum ini dilewatkan begitu saja, alias tidak ditangkap sebagai wake up call untuk secara struktural-sistematis melakukan perbaikan institusional serta problem-problem mendasar berbangsa-bernegara, maka kita akan rugi serugi-ruginya.
“Selain rugi,” imbuh Shofwan, “Kita jadi lebih rentan terimbas guncangan-guncangan internasional yang pasti akan terjadi, kita jadi minim daya tahan kolektif.”
Menutup diskusi, Chandra menekankan pentingnya semua entitas pengurus negara (legislatif-yudikatif-eksekutif) lekas membenahi diri agar semakin cakap, profesional, dan berintegritas. Perlunya, supaya solusi-solusi yang ditempuhnya bukan solusi-solusi gimmick semata. “Cukup sudah yang kayak begitu. Mari koreksi total,” pungkasnya.