Kamis 28 Aug 2025 19:48 WIB

Demo Buruh Soroti Kasus Wamenaker: Kita Bayar Sertifikasi Rp 4 Juta, Ternyata Harganya Rp 275 Ribu

Buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) menggelar demonstasi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Mas Alamil Huda
Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (28/8/2025).
Foto: Kamran Dikarma/Republika
Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (28/8/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Tengah (ABJT) menggelar demonstrasi di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Kota Semarang, Kamis (28/8/2025). Dalam aksi tersebut, Koordinator Jaringan ABJT, Aulia Hakim, menyoroti kasus dugaan korupsi kepengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang menyeret mantan wamenaker, Immanuel Ebenezer.

Saat menyampaikan orasi, Aulia mengungkapkan bahwa buruh harus selalu mengurus sertifikat K3 di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). "Sertifikasi yang dulu kita mendaftar Rp 4 juta sampai Rp 6 juta, ternyata setelah terbongkar oleh KPK, berapa harganya? Rp 275 ribu. Kawan-kawan akhirnya tidak dapat sertifikasi, buruh yang dirugikan," ujarnya.

Baca Juga

Aulia menilai, Presiden Prabowo Subianto adalah figur atau tokoh yang baik dalam menjalankan pemerintahan. "Tapi menteri-menterinya Bapak Prabowo perlu dievaluasi, termasuk Kemenaker," ucapnya.

"Makanya kita suarakan hari ini: segera reshuffle menteri-menteri yang telah korupsi," tambah Aulia.

Dalam aksinya, AJBT menyuarakan tujuh tuntutan, antara lain: penghapusan praktik upah murah dan tenaga alih daya atau outsourcing, kenaikan upah minimum sebesar 8,5 persen, penghentian PHK sepihak dan pembentukan satgas PHK, reformasi pajak perburuhan, serta revisi UU Ketenagakerjaan tanpa Omnibus Law.

Selain itu, AJBT turut mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset. Aulia Hakim mengatakan, hal itu turut dituntut karena kasus korupsi masih masif di Indonesia. Pada sejumlah kasus, nilai korupsinya bahkan mencapai triliunan rupiah.

"Tidak ada efek jera bagi pelaku karena negara tidak memiliki instrumen hukum yang kuat untuk merampas aset hasil kejahatan. Oleh karena itu, kami menuntut pemerintah dan DPR segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai langkah konkret pemberantasan korupsi," kata Aulia.

"Tanpa UU (Perampasan Aset) ini, pemberantasan korupsi hanyalah sandiwara politik, sementara wajah negara tetap tercoreng sebagai pelindung oligarki dan sarang koruptor," tambah Aulia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement