
Oleh: Dr Suharsiwi, M.Pd, Peneliti dan Dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus kini menjadi “tiket wajib” bagi dosen Indonesia yang mengejar jabatan akademik tertinggi, yakni guru besar.
Kebijakan ini lahir dengan niat baik, agar kualitas riset Indonesia semakin diakui di dunia internasional. Namun, di balik prestise itu tersimpan beban berat yang kerap menguras energi, pikiran, bahkan kantong para dosen.
Beban Biaya yang tak Terbantahkan
Kenyataannya, publikasi Scopus bukan sekadar soal menulis artikel bermutu. Dosen juga harus menghadapi biaya publikasi (Article Processing Charge/APC) yang nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Bagi dosen di kampus besar dengan dukungan dana riset, hal ini mungkin masih bisa diatasi. Namun, bagi dosen di perguruan tinggi swasta atau daerah, biaya sebesar itu terasa mustahil ditanggung secara pribadi.
Penerbit besar seperti Elsevier, Springer Nature, Taylor & Francis, dan Wiley mencatat keuntungan miliaran dolar setiap tahun.
Penulis artikel tidak mendapat kompensasi, reviewer bekerja sukarela tanpa honor, tetapi dosen justru harus membayar untuk menerbitkan karyanya.
Survei terhadap dosen peserta Visiting Professor UMM 2023 memperkuat realitas ini: 63,3 persen responden menolak publikasi Scopus sebagai syarat kenaikan jabatan Guru Besar, dengan alasan beban biaya dan prosedur yang berbelit.
Bahkan 73,3 persen menyatakan penghasilan dosen di Indonesia masih jauh dari sejahtera (Policy Brief Analisis Kebijakan Publikasi Scopus).
Ketidakadilan Akademik
Kebijakan ini menciptakan ketimpangan baru di dunia akademik Indonesia. Dosen di kampus besar atau negeri unggulan relatif lebih mudah mencapai guru besar karena memiliki akses pada dana penelitian dan jaringan internasional.
Sebaliknya, dosen di kampus kecil, swasta, atau daerah tertinggal menghadapi jalan terjal. Kesempatan naik jabatan akhirnya lebih ditentukan oleh kemampuan finansial, bukan semata kualitas akademik.
Salah satu dosen di perguruan tinggi swasta pernah bercerita, ia harus memilih, apakah mengalokasikan tabungan keluarga untuk biaya publikasi Scopus, atau menunda impian menjadi guru besar demi kebutuhan anak-anaknya.
Dilema seperti ini nyata dialami banyak akademisi. Bukankah ini bentuk ketidakadilan?
Etika Akademik yang Terkikis
Tekanan untuk memenuhi syarat Scopus juga menimbulkan efek samping berbahaya. Fenomena perjokian artikel, jasa instan, hingga publikasi di jurnal predator semakin marak. Alih-alih mendorong budaya riset yang sehat, kebijakan ini justru membuka ruang bagi praktik tidak etis yang mencederai integritas akademik.
Lebih ironis lagi, ada kasus artikel yang sudah terbit justru dihapus dari indeks Scopus (discontinue) karena masalah kredibilitas jurnal. Akibatnya, artikel itu tidak lagi diakui untuk kenaikan jabatan, padahal dosen sudah mengeluarkan biaya besar dan mengorbankan waktu penelitian.
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara menghadapi masalah serupa, tetapi mencoba jalan berbeda. Malaysia, misalnya, memberi dukungan dana publikasi yang cukup besar agar dosen tidak terbebani.
India memperluas pengakuan terhadap jurnal nasional bereputasi internasional sehingga tidak semua harus bergantung pada Scopus. Negara-negara tersebut memahami, publikasi ilmiah memang penting, tetapi kualitas tidak boleh diukur semata oleh indeksasi, apalagi yang dikuasai industri penerbit global.
Indonesia perlu belajar dari praktik baik ini. Jika terus bergantung pada Scopus, kita hanya akan memperkaya penerbit luar negeri, sementara dosen sendiri terbebani.
Rekomendasi Kebijakan: Evaluasi dan Reformasi
Policy brief tentang publikasi Scopus merekomendasikan beberapa langkah yang patut dipertimbangkan pemerintah:
1.Memberi alternatif syarat publikasi, misalnya dengan mengakui jurnal nasional bereputasi (Sinta 1-2) atau jurnal regional kredibel yang diakui komunitas ilmiah.
2.Menyediakan dukungan finansial yang adil, terutama bagi dosen di kampus swasta dan daerah, sehingga mereka tidak harus mengorbankan dana pribadi.
3.Menguatkan ekosistem jurnal nasional, agar Indonesia memiliki kanal ilmiah berkualitas internasional tanpa sepenuhnya bergantung pada penerbit asing.
Menimbang Kembali Arah Kebijakan
Publikasi Scopus memang penting untuk meningkatkan jejaring penelitian Indonesia di kancah global. Namun menjadikannya syarat mutlak bagi guru besar tanpa memperhatikan aspek keadilan hanya akan memperlebar jurang kesenjangan akademik.
Pertanyaan kritis pun muncul: apakah jabatan akademik tertinggi harus ditentukan oleh kemampuan membayar publikasi, bukan oleh kualitas karya dan dedikasi ilmiah?
Ilmu pengetahuan semestinya terbuka untuk semua, demi kemajuan masyarakat. Menjadikannya sebagai industri eksklusif yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya dana besar adalah bentuk penyimpangan dari nilai luhur akademik.
Penutup
Kini saatnya kita menimbang ulang arah kebijakan publikasi di Indonesia. Tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas riset tidak boleh berakhir dengan membebani dosen atau merusak etika akademik.
Ilmu pengetahuan seharusnya kembali ke fitrahnya: mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar memperkaya industri penerbit global.