Selasa 19 Aug 2025 10:21 WIB

'Wajah Asli Belanda' Menolak Percaya Indonesia Bisa Merdeka

Bangsa Arab dan Muslim Soviet jadi yang pertama-tama mengakui kemerdekaan RI.

Pertemuan Asia Inter Conference pada 23 Maret 1947 di India. Tampak Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim dan tuan rumah Pandit Jawaharlal Nehru.
Foto: Lukisan Revolusi 1945-1949

Oleh : Fikrul Hanif Sufyan, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Namun 80 tahun silam, Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama 142 tahun, tidak siap dengan kenyataan ini. Mereka menolak hadirnya negara baru bernama Indonesia. Strategi kembali ke Indonesia telah mereka susun, ketika memindahkan eksterniran yang berasal dari PKI, PNI, PNI Baru, PSII, PERMI dan lainnya dari Boven Digoel menuju Cowra Australia. Namun, dunia tidak diam. Dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia pun terus mengalir, termasuk dari Muslim Rusia.

Rencana kembalinya Belanda ke Indonesia, telah terendus oleh tangan kanannya Tan Malaka yang bernama Djamaluddin Tamim. Ia bersama Muhammad Ali menolak keras, usaha dari birokrat Belanda Charles Olke van der Plas untuk memindahkan tahanan politik Digoel ke Australia. Tamim dalam manuskripnya, hanya menyetujui interniran dipindahkan saja ke Merauke.

Setelah Djamaluddin dan Ali dipanggil Van der Plas, berturut-turut dipanggil Soedjono (pimpinan PKI 1924 sampai 1926), Haji Jalaluddin Thaib (pengurus PERMI), Burhanuddin tangan kanannya Hatta, Sjahrir di PNI Baru, serta dr Woworuntu, yang baru saja kembali dari Moskow pada Maret 1928.

Keempat tokoh yang dipanggil Van der Plas itu menunjukkan gelagat aneh. Bahkan, mereka beberapa kali melakukan perundingan istimewa di kediaman Controleur Digoel. Mereka berunding dengan Wedana Soenger, Controleur Digoel  dan Van der Plas. 

Realisasi pembicaraan empat orang tadi dengan petinggi Belanda, tersiar ketika membentuk organ baru. Pemerintah Hindia Belanda pelarian di Australia, yang dikepalai oleh Van Mook dan Van Der Plas bersama kompatriot Soedjono, Djalaluddin Thaib, dan Burhanuddin membentuk Serikat Indonesia baru, atau yang diakronimkan menjadi SIBAR (Poeze, 2014).

photo
Pejabat Administrasi Sipil Hindia Belanda Charles Olke van der Plas. - (Wikimedia Commons)

Keberadaan dari organ ini, menjadi tanda tanya besar bagi Djamaluddin Tamim. Pertama, lewat SIBAR Mereka menolak atau tidak mengakui Republik Indonesia merdeka Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua, mereka menuduh Soekarno dan Hatta kolaborator atau penjahat perang, dan akan pulang ke Indonesia, kembali bersama-sama Van Mook dan Van der Plas untuk mendirikan Negara Indonesia baru.Tidak seperti Hindia Belanda dulu lagi, tetapi Indonesia Belanda kerjasama yang lebih erat lagi dan sebagainya (Tamim, 1964).

Kepongahan dari pejabat Administrasi Sipil Hindia Belanda itu ditunjukkan saat konferensi pers di Singapura. Di depan awak media, dengan sombongnya ia berkata, “Saya tidak mengakui republik yang disebut-sebut, maupun Soekarno sendiri. Jika saya meminta Soekarno untuk datang menemui saya sebelum pendudukan, hal itu akan berarti pengakuan resmi.” Bahkan Van der Plas, menuduh Bung Karno sebagai penjahat perang dan dapat diadili melalui sebuah komisi. Ia mengklaim enam tokoh terkemuka Indonesia telah menanggapi seruan politiknya untuk datang dan berbicara dengannya (De waarheid, 3 Oktober 1945).

Penolakan terhadap kemerdekaan Indonesia, juga datang dari Laksamana Helfrich, komandan pasukan Belanda di Hindia Timur. Ia ditugaskan mewakili pemerintah Belanda pada saat penyerahan Jepang di Teluk Tokyo. Kepada Associated Press di Batavia pada hari Rabu, Helfrich dengan arogannya berkata, “Dari sudut pandang strategis, apa yang disebut sebagai Indonesia merdeka akan menjadi ancaman konstan terhadap perdamaian di Samudra Hindia. Indonesia tidak memiliki cara untuk mempertahankan diri” (Nieuwe Haarlemsche Courant, 3 Desember 1945)

Tidak saja menolak, ia mengklaim pembentukan Indonesia sebagai negara merdeka adalah sesuatu yang salah. Lebih lanjut Helfrich dengan pongahnya berkata, “Orang Indonesia tidak mampu mengelola negara yang rumit ini. Mereka tidak memiliki pengalaman dan modal serta sumber daya teknis. Siapapun yang berpikir bahwa Indonesia akan membentuk sebuah negara merdeka adalah salah, karena 137 suku dan kelompok masyarakat yang berbeda akan saling berperang satu sama lain.”. 

Bahkan pencaplokan wilayah Indonesia yang telah berdaulat menurutnya adalah sesuatu yang wajar. “Belanda hanya mencoba untuk mendapatkan kembali barang-barang mereka yang telah dicuri oleh orang Indonesia” – katanya menutup keterangannya pada Associated Press (Nieuwe Haarlemsche Courant, 3 Desember 1945)

Perlawanan Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka...

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement