Selasa 12 Aug 2025 17:36 WIB

Deconstitute dan Mahasiswa Unas Ajukan Uji Materi UU Bahasa

.

Direktur Eksekutif Deconstitute, Harimurti, bersama dengan mahasiswa Unas, saat sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK).
Foto: istimewa/doc humas
Direktur Eksekutif Deconstitute, Harimurti, bersama dengan mahasiswa Unas, saat sidang perdana di Mahkamah Konstitusi (MK).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Democracy, Economic & Constitution Institute (Deconstitute) dan empat orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional (Unas) menggugat Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta kata ‘wajib digunakan’ dalam pasal tersebut ditafsirkan bersifat imperatif (harus dilakukan).

MK menggelar sidang pertama pengujian undang-undang ini pada Selasa (12/8/2025), dan tercatat dengan nomor perkara 127/PUU-XXIII/2025.  Para pemohon memaparkan dalil-dalil pokok permohonannya yang berfokus pada ambiguitas makna dari frasa "wajib digunakan" dalam kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia untuk perjanjian dengan pihak asing. 

Para pemohon dalam perkara ini, terdapat lima pihak yang menjadi pemohon, yakni Devi Ramadhani, Yanhar Mizam, Agung Ramadhan dan Anandhita Sandryana sebagai mahasiswa Unas, serta Deconstitute sebagai ormas berbadan hukum.

"Sidang hari ini adalah momentum penting untuk menguji norma yang selama ini menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Ini juga penting untuk menegakkan kedaulatan bahasa negara sesuai amanat konstitusi UUD45 pasal 36 dan memperkuat nilai nasionalisme" ujar Direktur Eksekutif Deconstitute, Harimurti, dalam siaran persnya. 

Harimurti menambahkan bahwa ketidakpastian hukum ini dapat dilihat dari data empiris yang menunjukkan adanya variasi putusan pengadilan dalam memaknai Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009. Berdasarkan penelitian periode 2015-2021, dari 10 kasus yang dianalisis, terdapat 13 entri putusan dengan hasil yang beragam: sebagian menyatakan perjanjian "Batal Demi Hukum", sementara lainnya menyatakan "Sah dan Mengikat" atau "Pengadilan Tidak Berwenang". “Argumentasi kami kuat dan didukung oleh data empiris” kata Harimurti.

Dalam menutup permohonannya, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa "wajib digunakan" bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai kewajiban yang bersifat imperatif dan tidak dapat dikesampingkan dengan alasan apa pun, termasuk prinsip kebebasan berkontrak atau iktikad baik. Permintaan ini sejalan dengan mayoritas putusan pengadilan dalam memaknai kewajiban dalam Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 yang seharusnya menjadi yurisprudensi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement