Jumat 01 Aug 2025 08:59 WIB

Sejarah Abolisi dan Amnesti di Indonesia, Dari Pemberontakan ke Kasus Korupsi

Pemberian abolisi dan amnesti kerap terkait pengampunan pemberontak dan separatis.

Rep: Fitriyan Zamzami/ Red: Fitriyan Zamzami
Terpidana kasus ITE  Baiq Nuril Maknun menyalami Presiden Joko Widodo setelah menerima keppres amnestinya di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/8/2019).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Terpidana kasus ITE Baiq Nuril Maknun menyalami Presiden Joko Widodo setelah menerima keppres amnestinya di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberian abolisi dan amnesti, yakni hak mengampuni warga negara secara individual dan kolektif  dari status pidana, telah dikeluarkan hampir semua presiden Republik Indonesia. Namun yang diberikan pada mantan menteri perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto semalam, adalah yang perdana diberikan untuk terpidana kasus korupsi.

Abolisi adalah hak yang dimiliki kepala negara seturut UUD 1945 untuk menghapuskan tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan melalui pertimbangan dan persetujuan DPR. Sedangkan amnesti, adalah hak prerogatif presiden dalam UUD 1945 untuk memberikan pengampunan kepada orang atau kelompok orang yang telah melakukan tindak pidana. Amnesti menghapuskan seluruh akibat hukum dari tindak pidana terkait.

Baca Juga

Pada 1961, Presiden Sukarno mengobral abolisi dan amnesti untuk para pemberontak yang berjanji menghentikan perlawanan dan menyerahkan senjata. Pengampunan itu berlaku untuk para pemberontak yang terlibat pemberontakan separatisme Daud Beureueh di Aceh; pemberontakan PRRI/Permesta di daera-daerah; pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan; pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo di pulau Jawa; pemberontakan Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan; dan pemberontakan Republik Maluku Selatan di Maluku.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres Nomor 63/1977 untuk memberikan amnesti umum dan abolisi kepada para anggota gerakan Fretilin di Timor Leste. Pengampunan itu berlaku bagi anggota perlawanan kemerdekaan Timor Leste di Tanah Air maupun luar negeri. Pengampunan itu bagian dari pencaplokan wilayah bekas jajahan Portugis tersebut.

Setelah Soeharto lengser, Presiden BJ Habibie melalui Keppres Nomor 123/1998 juga memberikan sejumlah abolisi dan amnesti. Diantaranya untuk para oposisi Orde Baru yang ditahan. Selain itu, abolisi dan amnesti juga diberikan kepada sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan Aceh, Papua, dan Timor Leste.

Presiden Abdurrahman Wahid juga memberikan amnesti kepada sejumlah aktivis yang dikenai pidana pada masa Orde Baru. Melalui Keppres Nomor 159/1999 tersebut, Abdurrahman Wahid membebaskan Budiman Sujatmiko, Suroso, Ignatius Damianus Pranowo, Yacobus Eko Kurniawan, dan Garda Sembiring.

photo
Aktivis dari Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengikuti Aksi Kamisan ke-861di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/4/2025). Aksi tersebut dalam rangka memperingati tragedi Mei 1998. - (Republika/Thoudy Badai)

Pada 2000, melalui Keppres Nomor 93/2000, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dan rehabilitasi kepada RM Sawito Kartowibowo. Pada 1976, Sawito yang merupakan seorang pegawai Departemen Pertanian di Bogor, membuat kehebohan dengan klaimnya bahwa kehidupan politik perlu diperbaiki. Klaimnya jadi polemik karena melibatkan sejumlah tokoh politik utamanya proklamator Mohammad Hatta. 

Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2005 memberikan amnesti menyeluruh dan abolisi untuk semua yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengampunan itu terkait perjanjian damai di Aceh.

Pada masa Presiden Joko Widodo, amnesti dua kali dikeluarkan. Kedua kasus terkait dengan proses hukum pengaduan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). 

Yang pertama diterbitkan pada 2019 untuk Baiq Nuril, guru perempuan yang mengalami pelecehan seksual dan sempat dijerat dengan UU ITE karena merekam dan menyebarkan percakapan asusila kepala SMAN 7. Pada 2021, Jokowi juga memberikan amnesti kepada dosen Universitas Syiah Kuala, Saiful Mahdi. Ia dijerat UU ITE dengan tudingan pencemaran nama baik universitas sehubungan kritik penerimaan PNS melalui percakapan Whatsapp Group.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement