Satu dari tiga warga negara kepulauan Tuvalu di Pasifik Selatan, telah mendaftar ke dalam program visa iklim pertama di dunia tersebut. Visa ini memungkinkan mereka bermigrasi secara permanen ke Australia.
Tuvalu diklasifikasikan sebagai negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Funafuti, ibu kota Tuvalu, adalah sebuah pulau kecil diapit laguna di satu sisi dan samudra Pasifik di sisi lainnya, di mana separuh dari poulasinegara tersebut bermukim.
Namun, seiring kenaikan muka air laut dan dampak perubahan iklim yang semakin parah, banjir rob telah menjadi hal yang biasa, dan para ilmuwan memperingatkan, seluruh pulau tersebut dapattenggelam dalam 35 tahun ke depan.
Bagi negara yang 70% penduduknya berusia antara 15 hingga 64 tahun itu, ancaman krisis iklim itu bersifat eksistensial.
Model untuk perubahan iklim
Australia pada November 2023, menanggapi permintaan bantuan Tuvalu, menandatangani Perjanjian Falepili Union. Perjanjian ini mencakup kerja sama iklim, mobilitas warga, dan keamanan bersama. Setelah melalui serangkaian negosiasi, perjanjian itu kini mulai berlaku.
Mulai tahun 2025, jalur mobilitas khusus setiap tahunnya mengizinkan hingga 280 warga Tuvalu untuk tinggal, bekerja, atau belajar di Australia.
Melindungi identitas Tuvalu
Perjanjian menyebutkan, ini merupakan pengakuan ikatan leluhur yang kuat antara warga Tuvalu dengan tanah dan laut mereka. Kesepakatan berkomitmen menjaga kedaulatan negara tersebut, bahkan jika wilayahnya kelak tak lagi bisa dihuni. Perjanjian ini juga memberikan warga Tuvalu 'kebebasan bergerak tanpa batas' ke dan dari Australia.
Sebagai bentuk dukungan terhadap keamanan regional, Australia juga setuju untuk membantu Tuvalu dalam kasus bencana alam besar, darurat kesehatan publik yang menjadi perhatian internasional, atau agresi militer.
Bagaimana mekanisme Falepili Union?
Setiap tahun, sebuah voting rahasia akan menentukan 280 orang yang berusia di atas 18 tahun, pemegang paspor dan lahir di Tuvalu, memiliki orang tua atau kakek-nenek yang lahir di negara itu, untuk bisa memperoleh visa iklim.
Warga Tuvalu secara historis bergantung pada bantuan Australia dan Selandia Baru. Program ini diperuntukan bagi mereka yang sejauh ini tidak memiliki opsi yang serupa. Misalnya, warga Tuvalu yang sudah memiliki kewarganegaraan Selandia Baru, tidak memenuhi syarat, sehingga programnya dapat memprioritaskan warga yang betul-betul membutuhkan.
Visa ini juga terbuka bagi orang dengan disabilitas, kondisi kesehatan kronis, atau kebutuhan khusus, kategori yang sering kali dikecualikan dari visa Australia lainnya.
Lebih dari 3.000 warga Tuvalu telah mendaftar untuk putaran pertama. Dengan kuota 280 orang per tahun, artinya pemohon saat ini mungkin harus menunggu lebih dari 10 tahun. Namun, perjanjian tersebut memungkinkan penyesuaian jumlah pendaftar jika dirasa perlu.
Apa yang membuat ‘visa iklim' berbeda?
Sebagian besar visa terikat dengan persyaratan kerja atau studi, tak terkecuali bagi warga Tuvalu.
Berdasarkan Perjanjian Falepili Union, orang yang lolos "undian" dapat berpindah secara bebas, tanpa terikat pada pekerjaan atau program studi.
Jane McAdam, profesor hukum dan ahli hukum pengungsi di Universitas New South Wales menjelaskan, "bagi sebagian orang, ini mungkin kesempatan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka di Australia.
Bagi yang lain, ini adalah kesempatan kerja, mungkin untuk mengirim uang ke kampung halaman.” McAdam menyambut baik skema ini, menyebutnya sebagai jaring pengaman yang andal bagi warga Tuvalu.
Jalur kewarganegaraan permanen ini dibarengi sejumlah keuntungan, seperti mendapat subsidi pendidikan, asuransi kesehatan, asuransi disabilitas, tunjangan pajak keluarga, subsidi perawatan anak, dan tunjangan pemuda.
Apa perbedaan antara pengungsi dan migran iklim?
Secara tradisional, bencana iklim tidak tergolong sebagai ceah besar dalam aturan hukum. Sekitar 30 tahun lalu, misalnya, Mahkamah Agung Australia menetapkan, orang yang melarikan diri dari bencana alam tidak dapat dikategorikan sebagai pengungsi.
Ketiadaan pengakuan internasional terus berdampak, seperti kasus di Selandia Baru pada 2022: Seorang pria Tuvalu yang tuli berargumen, ia tidak dapat kembali ke rumah dengan aman karena tidak akan mendengar peringatan evakuasi pada saat bencana. Namun, pengadilan menolak memberikan perlindungan kepada dia.
Dalam setahun terakhir, Tuvalu mengalami setidaknya dua bencana besar: kekeringan dan banjir.
Kamal Amakrane, kepala Pusat Global PBB untuk Mobilitas Iklim, mengatakan Perjanjian Falepili Union menandai pergeseran dalam respons terhadap pengungsi perubahan iklim.
“Ini bukan sekadar visa untuk pengungsi iklim,” jelasnya. “Ini adalah jalur mobilitas karena perubahan iklim.” Berbeda dengan status pengungsi, yang biasanya diberikan kepada mereka yang mengungsi akibat konflik bersenjata atau represi politik, pendekatan ini menggarisbawahi perubahan iklim sebagai faktor pendorong. Skema ini menjaga otonomi dan martabat warga, dengan memberi mereka waktu untuk membangun ketahanan, sebelum memutuskan apakah mereka perlu pindah," tambahnya.
Negara lain cenderung bertindak hanya setelah bencana iklim terjadi. Argentina, misalnya, meluncurkan visa kemanusiaan pada 2023 untuk orang-orang di Amerika Latin yang terkena dampak perubahan iklim, tetapi itu dilakukan setelah mereka sudah terpaksa mengungsi.
Bisakah ‘visa iklim’ diterapkan oleh negara-negara lain?
Tuvalu tidak sendirian. Maladewa, Kepulauan Marshall, dan Kiribati menghadapi ancaman serupa dan juga dapat memperoleh manfaat dari kerangka kerja mobilitas iklim regional.
AS telah lama mengoperasikan Perjanjian Asosiasi Bebas dengan Mikronesia, Kepulauan Marshall, dan Palau, yang memungkinkan warga negara tersebut untuk tinggal dan bekerja secara bebas di AS. Namun, perjanjian ini memberikan akses yang terbatas terhadap bantuan publik, dan menjadikan mereka yang bermigrasi rentan terhadap risiko kemiskinan.
Rencana regional lainnya sedang disusun. Pada 2023, menteri-menteri dari negara-negara Afrika menyetujui Deklarasi Menteri Kampala tentang Migrasi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim. Mereka berkomitmen untuk memberikan respons terpusat bagi orang-orang yang ingin atau perlu berpindah karena perubahan iklim.
Namun, pada saat yang sama, krisis ini juga semakin memburuk. Antara tahun 2008 hingga 2018, lebih dari 80% perpindahan penduduk akibat bencana di seluruh dunia terjadi di kawasan Asia-Pasifik, dengan Tuvalu tepat berada di tengah zona risiko ini.
Para ahli meyakini, kebanyakan orang masih ingin tetap tinggal di kampung halamannya jika memungkinkan. "Orang tidak ingin meninggalkan tempat yang mereka anggap sebagai rumah,” kata Amakrane. “Jadi, bagaimana kita bisa membantu mereka tetap bertahan? Salah satunya adalah dengan mendukung proses adaptasi yang positif.”
Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Iryanda Mardanuz
Editor: Agus Setiawan