Senin 07 Jul 2025 10:39 WIB

Kampus Digital Bukan Lagi Pilihan, Waktunya Bergerak Bersama

Ada tujuh pilar yang perlu diperkuat untuk menuju kampus digital.

Adiwijaya, Rektor Telkom University.
Foto: istimewa
Adiwijaya, Rektor Telkom University.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwijaya, Rektor Telkom University

Dua dekade terakhir menjadi saksi upaya besar Indonesia dalam memperkuat pendidikan tinggi sebagai jalan menuju Indonesia Emas 2045. Namun, di tengah derasnya arus teknologi global, muncul satu pertanyaan besar: apakah kampus-kampus kita benar-benar siap menghadapi era digital secara utuh?

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) menunjukkan bahwa sekitar 30 persen wilayah Indonesia masih tergolong blank spot, alias sulit atau bahkan tidak terjangkau internet.

Di saat yang sama, survei Ditjen Dikti mengungkapkan bahwa hanya sekitar 52 persen dosen merasa percaya diri menggunakan teknologi digital dalam mengajar. Ini menunjukkan bahwa tantangan digital tidak hanya soal infrastruktur, tapi juga kesiapan manusianya.

Yang lebih krusial, banyak institusi masih memandang transformasi digital secara sempit—sekadar membeli platform LMS atau memberi pelatihan sekali-dua kali. Padahal, transformasi digital sejati adalah perubahan menyeluruh, mencakup budaya kerja, tata kelola, struktur organisasi, hingga cara dosen dan mahasiswa berinteraksi, bahkan pengambilan keputusan.

Mengapa Transformasi Digital Banyak yang Gagal?

Tak sedikit kampus yang terjebak dalam strategi “tempel teknologi”. Misalnya, LMS tersedia tetapi tidak digunakan optimal; kuliah daring masih sekadar unggah bahan ajar dan pemberian tugas; tidak ada umpan balik dan tidak ada interaksi aktif.

Persoalannya bukan semata-mata soal teknis, tetapi berakar dari sistem kepemimpinan, kebijakan, dan budaya organisasi yang belum siap berubah. Banyak kampus memiliki visi digital yang megah di atas kertas, namun masih menjalankan aktivitas sehari-hari secara konvensional.

Tata Kelola, Mesin Penggerak yang Sering Diabaikan

Saat kampus berlomba membangun ruang kelas digital dan membeli perangkat canggih, satu hal yang kerap luput adalah tata kelola yang adaptif dan berbasis kolaborasi. Tanpa itu, semua inovasi akan berakhir sebagai proyek jangka pendek yang mahal dan kurang berdampak.

Tata kelola yang mendukung era digital setidaknya ditandai oleh empat hal berikut:

• Kebijakan yang progresif dan fleksibel, yang memberi ruang berinovasi bukan aturan kaku yang menghambat kreativitas.

• Keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, dari dosen hingga mahasiswa termasuk pemangku kepentingan eksternal, dalam pengambilan keputusan. Transformasi yang sukses adalah transformasi yang inklusif.

• Keputusan yang berbasis data, bukan hanya intuisi atau tradisi.

• Transparansi dan akuntabilitas, terutama dalam pengadaan teknologi dan peningkatan kapasitas SDM.

Tanpa pembaruan tata kelola, kampus berisiko terjebak pada pola lama: prosedur lambat, keputusan reaktif, serta budaya kerja yang takut berubah. Bahkan teknologi terbaik pun akan sia-sia bila dikelola dengan cara yang tidak sesuai zaman.

Pengalaman negara seperti Korea Selatan menunjukkan bahwa keberhasilan kampus digital lebih ditentukan oleh struktur manajemen dan arah kebijakan, bukan sekadar perangkat yang digunakan. Kampus Indonesia pun bisa menuju ke sana, asalkan berani menata ulang sistem internalnya, bukan hanya tampilan luar (baca: pencitraan).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement