Rabu 16 Apr 2025 10:31 WIB

Di Dalam Tubuh yang Sehat Belum Tentu Terdapat Jiwa yang Kuat

Kesehatan mental bukan barang mewah, tapi kebutuhan dasar manusia.

Adiwijaya, Guru Besar Telkom University
Foto: dokpri
Adiwijaya, Guru Besar Telkom University

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Adiwijaya, Guru Besar Telkom University

Kita sering menjumpai seseorang yang terlihat sehat, bugar, penuh energi, tapi ternyata menyimpan luka batin atau tekanan mental yang berat? Atau Mungkin dia rajin olahraga, makan makanan sehat, tapi diam-diam merasa hampa, cemas, atau bahkan gampang menyerah pada hidup.

Ini adalah potret nyata yang terjadi pada banyak orang hari ini. Ungkapan klasik Mens sana in corpore sano—di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat—perlu dikaji ulang. Sebab, kenyataannya sehat secara fisik belum tentu sehat jiwanya.

Ada beberapa data yang menggelitik kesadaran kita. Menurut data WHO, lebih dari 800 ribu orang di dunia meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Sering kali, mereka bukan orang yang sakit parah secara fisik, justru banyak yang tampak “baik-baik saja”.

Di Indonesia sendiri, masalah kesehatan mental semakin mengkhawatirkan. Sebanyak 6,1 persen penduduk usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Di kalangan remaja, 1 dari 3 mengaku mengalami stres, depresi, kesepian, atau kecemasan berlebih.

Kondisinya yang lebih gawat lagi adalah untuk kalangan mahasiswa. Berdasarkan beberapa sumber literasi disampaikan bahwa 54,7 persen mengalami gejala depresi, 86,8 persen mengalami kecemasan tinggi, dan 34,5 persen bahkan pernah memikirkan untuk mengakhiri hidupnya. Realitas ini tidak bisa kita abaikan, meskipun mayoritas dari mereka sehat secara fisik.

Kesehatan mental adalah hal yang rumit dan dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya soal tugas yang menumpuk atau tekanan di tempat kerja. Ada berbagai hal yang bisa memicu gangguan kesehatan mental. Sering kali akar masalahnya lebih dalam dari yang terlihat.

Beberapa di antaranya adalah trauma masa lalu, terutama yang terjadi saat masih kecil. Selain itu, kurangnya dukungan sosial juga bisa menjadi penyebab. Ketika seseorang merasa sendirian tanpa tempat bercerita atau bersandar, baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan sekitar.

Tekanan akademik atau beban kerja yang berlebihan juga bisa membuat mental menjadi rentan. Ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang sulit, seperti pengangguran atau pekerjaan yang tidak manusiawi, yang membuat hidup terasa semakin berat.

Lingkungan digital seperti media sosial juga berpengaruh besar. Ketika kita terus-menerus membandingkan diri dengan pencapaian orang lain, rasa cemas dan tidak percaya diri pun bisa muncul tanpa disadari. Bahkan, orang dengan genetik bagus dan pola hidup sehat tetap bisa mengalami gangguan mental jika tidak memiliki kemampuan mengelola emosi atau menghadapi tekanan hidup.

Ada anggapan bahwa makin tinggi pendidikan seseorang, makin stabil juga mentalnya. Sayangnya, ini tidak selalu benar.

Banyak mahasiswa bahkan dari kampus ternama yang justru menjadi kelompok paling rentan. Tuntutan nilai, ekspektasi keluarga, ketakutan akan masa depan, dan minimnya waktu istirahat teah menjadi pemicu. Ditambah, banyak kampus belum menyediakan layanan konseling yang ramah dan terbuka.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement