Jumat 02 May 2025 12:22 WIB

Strategi Memperkuat AI di Dunia Pendidikan Tinggi

AI tidak bisa berdampak luas tanpa kolaborasi lintas sektor.

Suyanto, Rektor Telkom University dan Guru Besar Kecerdasan Buatan
Foto: dokpri
Suyanto, Rektor Telkom University dan Guru Besar Kecerdasan Buatan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Dr. Suyanto, Rektor Telkom University, Guru Besar Kecerdasan Buatan

Hari Pendidikan Nasional sebagai momen reflektif terhadap perjalanan dan cita-cita pendidikan nasional. Tema tahun 2025, 'Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua', menjadi pengingat bahwa kualitas pendidikan bukan hanya soal teknologi dan kurikulum, tetapi juga soal kolaborasi dan kesetaraan.

Dalam konteks ini, Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) hadir bukan semata sebagai sebuah inovasi di bidang teknologi, melainkan sebagai sarana kolektif untuk memperluas akses, meningkatkan mutu, dan memperkuat partisipasi semua elemen dalam pendidikan.

Sebagai Guru Besar dalam bidang AI sekaligus Rektor Telkom University, saya melihat langsung bagaimana teknologi ini mengubah cara kita belajar, mengajar, dan mengelola sistem pendidikan secara keseluruhan.

AI Membuka Akses Pendidikan Tinggi

Dalam satu dekade terakhir, AI telah berkembang pesat dan menjadi katalis utama transformasi di berbagai sektor, mulai dari industri, kesehatan, hingga pendidikan. Lompatan teknologi seperti machine learning, natural language processing (NLP), dan generative AI menjadi katalisator dalam mendefinisikan ulang cara manusia bekerja, berpikir, dan belajar.

Perkembangan AI membawa perubahan besar dan memainkan peran sentral dalam transformasi pendidikan tinggi di seluruh dunia, seperti yang dikembangkan oleh Massachusetts Institute of Technology (MIT) melalui J-WEL (World Education Lab), telah mengembangkan berbagai platform pembelajaran berbasis AI seperti MITx dan edX. Tujuannya adalah untuk membuka akses AI global untuk pendidikan berkualitas. Prinsip mereka sederhana namun kuat: AI harus membuka akses, bukan menutupnya.

Sementara itu, University of Oxford, melalui Oxford Internet Institute, mengkaji AI dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai fenomena sosial. Oxford meneliti bagaimana AI dapat mempersempit atau memperlebar kesenjangan pendidikan global. Mereka mengembangkan model pembelajaran berbasis data yang memperhatikan faktor budaya, ekonomi, dan akses teknologi. Inisiatif Oxford tidak hanya teknokratis, tetapi juga humanistik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement