REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Ada banyak cerita yang disampaikan Abel Fauzan (21). Secara fisik, tidak akan ada yang tahu jika dirinya sejak kelas 2 SMP telah divonis dokter mengalami gagal ginjal dan diharuskan cuci darah sampai sekarang. Di balik tubuh dan perawakannya yang terlihat baik-baik saja, Abel sudah melewati cuci darah rutin sejak lima tahun terakhir ini lantaran gagal ginjal.
Abel yang merupakan anak tunggal ini, mengakui dari SD sampai SMP kelas dua, dirinya lebih sering konsumsi minuman dalam kemasan. Dia bahkan tidak suka minum air putih.
“Dulu saya memang jarang minum air putih. Sampai akhirnya mulai merasakan badan tidak enak, perut sakit terus-menerus. Kemudian dibawa ke rumah sakit, dirontgen, dan dokter bilang arahnya ke gagal ginjal,” ceritanya.
Sejak saat itu, hidup Abel berubah drastis. Proses pengobatan yang intens membuatnya harus keluar dari sekolah formal di Madrasah Tsanawiyah.
Satu bulan penuh ia sempat dirawat di rumah sakit, membuat aktivitas belajarnya sempat terhenti, namun semangat belajarnya tidak ikut padam. Abel kemudian melanjutkan sekolah lewat jalur non-formal Kejar Paket B dan kini melanjutkan ke Kejar Paket C atau setara SMA.
“Bapak saya khawatir kalau saya masuk sekolah umum tidak sanggup ikut pelajaran olahraga, makanya orang tua memilih jalur kejar paket. Tapi saya tetap punya keinginan untuk kuliah di jurusan ekonomi, karena ingin melanjutkan usaha rumah makan yang dirintis bapak dari nol,” kata Abel.
Meskipun harus menjalani cuci darah dua minggu sekali, Abel tetap membagi waktunya dengan baik. Selain belajar, ia juga bekerja sebagai karyawan di usaha keluarganya.
Di balik ketekunan dan semangatnya, Abel mengakui sangat bersyukur seluruh biaya cuci darah dan seluruh hal yang berkaitan dengan kesehatannya menggunakan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Kalau tidak pakai JKN, saya tidak tahu. Sekali cuci darah bisa habis 800 ribu rupiah sampai 1,5 juta rupiah. Ini harus dilakukan terus-menerus, tidak boleh berhenti,” katanya.
Dalam kondisi kronis seperti gagal ginjal yang memerlukan pengobatan seumur hidup, Program JKN menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan, tidak sekadar membantu biaya, tetapi menjaga kesinambungan hidup bagi Abel.
Sebagai salah satu bentuk syukur, Abel tak ingin keadaannya menjadi alasan untuk menyerah, ada banyak cita-cita dan harapan yang ia miliki. Ia telah menyusun rencana masa depan, bercita-cita memiliki usaha sendiri seperti sang bapak dengan cara belajar langsung di dapur dan bermaksud untuk melanjutkan kuliah jurusan ekonomi.
“Dulu bapak merintis dari nol, jadi saya juga harus begitu. Tidak mungkin saya akan bergantung terus. Harus punya penghasilan sendiri,” ujarnya.
Abel berpesan agar anak-anak termasuk orang dewasa agar tidak terlalu sering untuk minum minuman kemasan, lebih baik memperbanyak minum air putih. Ia mengakui telah banyak belajar dari sakitnya dan menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran untuk hidup lebih sehat dan penuh syukur.
“Saya dulu tidak suka air putih. Sekarang malah banyak minum air putih. Satu lagi banyaklah bersyukur,” kata Abel.