Selasa 24 Jun 2025 09:50 WIB

Prabowo Sebut 'State Capture' di depan Putin, Ini Contoh Kasusnya di Indonesia

State capture masuk kategori megakorupsi oleh KPK.

Terpidana kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik Setya Novanto berjalan usai mengikuti sidang pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (28/8/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Terpidana kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik Setya Novanto berjalan usai mengikuti sidang pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (28/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto di depan Presiden Rusia Vladimir Putin sempat menyinggung istilah 'state capture'. Saat itu Presiden tengah berpidato di forum SPIEF Rusia, di depan para pejabat negara. Kepala Negara memaparkan kebijakan pembangunan di Indonesia, termasuk tantangan yang tengah dihadapi. Salahsatunya adalah 'state capture' tersebut.

Presiden menyebut, "Ada bahaya di negara berkembang seperti Indonesia, yang kami sebut sebagai 'state capture' yakni kolusi antara pebisnis modal besar, pemerintah, dan elite politik, yang pada akhirnya justru tidak menghilangkan kemiskinan, tetapi meningkatkan jumlah kelas menengah," kata Presiden.

Ia melanjutkan, Pemerintah Indonesia harus bekerja keras untuk menyejahterakan rakyatnya. Dalam situasi ini, Presiden menegaskan, amat penting bagi indonesia untuk membentuk pemerintahan yang bersih, bebas korupsi.

Apa sebenarnya 'state capture' yang disinggung Presiden Prabowo? Dalam papernya di Bank Dunia yang berjudul "Seize the State, Seize the Day" : State Capture, Corruption, and Influence in Transition, Hellman, Joel S.; Jones, Geraint; Kaufmann, Daniel. (2000), menulis: Di banyak negara yang sedang mengalami masa transisi, hubungan antara perusahaan atau pebisnis dan negara telah menjadi tantangan besar, terutama dalam apa yang disebut 'state capture'. Dalam sistem ini, perusahaan atau pebisnis modal besar dengan hubungan formal dengan negara atau pemerintah sering kali memiliki pengaruh besar tanpa perlu membayar suap, mewarisi keuntungan seperti hak properti yang aman dan pertumbuhan lebih tinggi.

Di sisi lain, perusahaan baru kesulitan bersaing dengan para pebisnis di atas itu, jadi pebisnis baru ini sering kali beralih ke "state capture', yaitu membayar pejabat publik atau politisi untuk membentuk aturan yang menguntungkan mereka.

Menurut data dari Business Environment and Enterprise Performance Survey (BEEPS) 1999, 'state capture' berbeda dengan sekadar pengaruh bisnis atau politik (tanpa suap) dan korupsi administratif (suap kecil untuk pelaksanaan aturan), yang ternyata tidak memberikan manfaat khusus bagi perusahaan.

Ekonomi 'state capture' menciptakan biaya sosial yang besar, termasuk struktur monopoli yang didukung oleh kepentingan politik kuat, yang menghambat reformasi dan persaingan ekonomi. Untuk mengatasi ini, reformasi harus mengarahkan strategi perusahaan menuju bentuk pengaruh yang sah, seperti melalui "suara" masyarakat, transparansi, akuntabilitas politik, dan persaingan ekonomi yang sehat.

Namun, tantangan ini sangat berat karena kepentingan politik dan ekonomi yang sudah mengakar kuat dalam, sehingga memerlukan upaya besar untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan kompetitif.

Sementara KPK dalam artikelnya berjudul 'Mengenal Tiga Jenis Korupsi Berdasarkan Skala dan Paparannya' yang terbit pada 11 Januari 2023 mengutip Wuryono Prakoso, kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, yang menjelaskan soal kategorisasi korupsi. Di mana 'state capture' masuk di dalam bagian megakorupsi.

Jika dibagi berdasarkan skala dampak dan paparannya, maka korupsi dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu petty corruption, grand corruption, dan political corruption.

Grand corruption atau biasa disebut korupsi kelas kakap adalah korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, miliaran hingga triliunan rupiah. Korupsi kakap menguntungkan segelintir orang dan mengorbankan masyarakat secara luas.

KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption. Pertama, melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi, kedua, melibatkan aparat penegak hukum, ketiga, berdampak luas terhadap kepentingan nasional, dan keempat, kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan untuk melakukan state capture. State capture adalah korupsi sistemik yang terjadi ketika kepentingan swasta memengaruhi pembuatan kebijakan untuk keuntungan mereka sendiri.

Salah satu contoh grand corruption adalah korupsi proyek e-KTP yang dilakukan sejak 2011, membuat negara merugi hingga Rp 2,3 triliun. Korupsi ini melibatkan tujuh orang yang kesemuanya telah divonis antara 6-15 tahun penjara. Salah satu tokoh prominen dalam kasus ini adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis penjara 15 tahun.

Menurut lembaga Transparency International, grand corruption tidak hanya merugikan orang banyak dan dilakukan oleh pejabat publik, tapi juga melanggar hak asasi manusia. Pernyataan ini diamini oleh Wuryono.

"Benar, korupsi bisa melanggar HAM. Korupsi e-KTP, misalnya, telah melanggar hak-hak asasi masyarakat untuk memiliki kartu identitas. Sementara kasus korupsi bantuan sosial (bansos) telah melanggar hak asasi masyarakat untuk dapat hidup di saat krisis. Belum lagi pelanggaran hak asasi pada tersedianya pendidikan yang layak, atau sarana kesehatan yang baik," ujar Wuryono.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement