REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The International Conference on Cohesive Societies (ICCS) akan segera digelar kembali di Singapura pada 24-26 Juni 2025. Tahun ini sejumlah nama dari Indonesia menjadi pembicara di forum internasional yang digelar untuk mendorong dialog dan solusi untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat multikultural hidup dalam harmoni.
Salah satu pembicara dari Indonesia adalah Amsa Nadzifah, direktur eksekutif Yayasan Literasi Desa Tumbuh yang menggunakan pendekatan berbasis komunitas dan inklusif di desa Moyudan, Sleman, Yogyakarta.
ICCS yang masuk edisi ketiganya akan menghadirkan para pembuat kebijakan, praktisi komunitas, serta pemimpin muda dari berbagai negara untuk bersama-sama mencari solusi dalam membangun masyarakat yang tangguh dan kohesif. Republika berkesempatan berbincang dengan Amsa mengenai upayanya membangun masyarakat yang tangguh lewat kerjanya di desa di Yogyakarta.
Berada di komunitas yang homogen dengan pola pandang seragam membuat Amasa merasa harus melakukan sesuatu. "Mayoritas agama sama, secara pekerjaan tidak ada yang kaya gitu, menengah dan humble income family. Secara perspektif rata-rata memiliki pola pandang yang sama. Kalau sudah selesai SMA atau SMP anaknya bahkan didorong menikah. Jadi rasanya ada yang buat saya pribadi harus ada sesuatu, nih," tutur Amsa.
Kondisi tersebut dirasakannya sangat berbeda. Meski hidup sama-sama di Desa Moyudan, Sleman, Yogyakarta, Amsa sejak SMP sudah bersekolah di luar Jawa. Ia lalu melanjutkan studi ke University of Melbourne.
Ketika pulang, Amsa merasa berjarak dengan komunitasnya. "Saya merasa butuh tempat di mana anak-anak bisa tetap ada di komunitas, tapi bisa mengakses pendidikan," katanya.
Dari situ Yayasan Literasi Desa Tumbuh hadir dengan fokus awal ke anak-anak di desanya. Amsa melihat di desanya anak-anak belum dijadikan decision maker atau pengambil kebijakan dalam keluarga. Anak-anak dinilai belum cukup bisa memiliki suara bahkan dalam keluarga.
Yayasannya lalu membuat kegiatan yang menyasar anak-anak dan orang tuanya. Untuk anak-anak secara rutin di setiap Sabtu dan Ahad digelar kegiatan seperti bermain angklung, menari, membaca bersama. Dari anak-anak yang mulanya tidak berani mengangkat tangan dan bertanya, sejak kegiatan ini rutin digelar Amsa mulai menemukan perbedaan.
"Kami melakukan pendekatan ini, alasannya karena kami menemukan anak-anak belum percaya diri untuk angkat tangan. Dan itu bukan hanya di tempat kami, juga di kebanyakan tempat anak-anak belum berani terdorong tunjuk tangan mempertanyakan sesuatu. Akhirnya lewat literasi di ruang baca kami dorong anak-anak bertanya," jelasnya.
Sedang dari bermain angklung dan menari, anak-anak diajarkan bekerja sama dan diasah kepercayaan dirinya. Kegiatan serupa pun dibawa ke para orang tua dari anak-anak di desa. Kegiatannya selain angklung, ada pula kelas finansial literasi hingga sesi belajar mengolah sampah.
Suara yang Berharga....