REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Sejumlah pelaku usaha perikanan hidup di Natuna dan Anambas, Kepulauan Riau, menjajaki ekspor ikan hidup ke Hong Kong melalui jalur udara setelah pengiriman jalur laut terhenti sejak Maret 2025.
"Kami sudah berdiskusi dengan beberapa pelaku usaha, mereka akan mencoba untuk ekspor menggunakan kargo pesawat dari Batam," kata Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam, Kepulauan Riau, Semuel Sandi Rundupadang di Batam, Kepri, Jumat.
Dia menjelaskan diskusi pada awal Juni 2025 tersebut terjadi saat para pelaku usaha berkunjung ke Pangkalan PSDKP Batam untuk menjajaki kerja sama penggunaan keramba sebagai tempat penampungan ikan yang akan diekspor ke Hong Kong.
Pembudi daya membutuhkan tempat penampungan ikan sementara di Batam, untuk menjaga daya tahan ikan selama menempuh perjalanan dari Natuna dan Anambas sebelum diterbangkan ke Hong Kong via Jakarta.
Semuel menyebut pelaku usaha sedang berhitung biaya yang akan dikeluarkan bila mengekspor ikan hidup lewat udara.
Selama ini pengiriman lewat jalur laut jauh lebih murah ketimbang lewat udara.
"Karena untuk ekspor langsung lewat kargo udara membutuhkan biaya lebih mahal, katakanlah selama ini kalau dikirim laut kisaran biaya kirim hanya di angka Rp50 ribu- Rp60 ribu untuk per kilogram ikan, sekarang itu akan naik drastis menjadi Rp250 ribu atau Rp300 ribu per kg ikan, kadang bisa lebih," ujarnya.
Selain memperhitungkan biaya pengiriman kargo, pelaku usaha juga memperhitungkan jenis ikan yang akan diekspor lewat jalur udara agar ongkos kirim tertutup, sehingga pelaku usaha atau pembudi daya tidak merugi, seperti jenis kerapu dan napoleon.
Kemudian, juga sedang diperhitungkan mekanisme pengiriman seperti jalur Natuna-Anambas ke Batam lalu ke Jakarta kemudian diterbangkan ke Hong Kong, atau bisa langsung dari Batam ke Hong Kong.
Untuk pengiriman lewat Jakarta, maka pelaku usaha membutuhkan tambak penampungan ikan-ikan yang akan diekspor di Batam, sebelum diterbangkan ke Jakarta.
Dari Jakarta akan dikemas ulang untuk memastikan kondisi ikan tetap hidup sampai diterbangkan ke Hong Kong.
"Karena memang mereka lagi menjajaki mana yang benar-benar penerbangan atau operator penerbangan yang akan dikerjasamakan dan harganya lebih masuk," ujarnya.
Menurut Semuel, pelaku usaha sudah menjajaki kerja sama dengan Garuda Indonesia yang menawarkan harga kurang lebih Rp900 jutaan untuk biaya sewa.
Hingga kini, kapal-kapal Hong Kong yang biasanya masuk ke perairan Natuna dan Anambas untuk mengambil ikan-ikan hidup dari pembudi daya sudah tidak lagi datang karena pemerintah China memperketat pengawasan di perairan Laut China Selatan, sehingga kapal-kapal pembawa barang-barang dari luar khawatir adanya penindakan.
Sementara itu, pengiriman lewat jalur udara tidak seketat pengawasan di laut China Selatan, dan barang dikirim bisa langsung ke bandara di Hong Kong.
"Pelaku usaha berupaya mencari alternatif pengiriman agar nelayan-nelayan pembudi daya ini tidak semakin rugi karena biaya pakan ikan, apabila ikan tidak segera dijualbelikan," ujar Semuel.