Oleh: Agus Trihandoyo, Wakil Rektor Bidang Akademik Cyber University dan aktif mengembangkan kurikulum berbasis kemitraan industri.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah tantangan ketenagakerjaan pascapandemi dan disrupsi teknologi yang semakin cepat, dunia pendidikan tinggi Indonesia menghadapi tuntutan baru: menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga siap kerja secara praktis.
Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan kesenjangan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, tingkat pengangguran lulusan perguruan tinggi mencapai 11,8 persen, angka yang mencerminkan belum optimalnya transisi antara dunia kampus dan dunia kerja.
Di sinilah peran program magang menjadi semakin penting, bukan sebagai pelengkap, melainkan fondasi pembelajaran. Eropa lebih dulu mengubah cara pandang terhadap magang, menjadikannya sebagai bagian terintegrasi dari kurikulum. Apa yang bisa kita pelajari?
Model Eropa: Magang Menjadi Ruang Kelas Kedua
Di Jerman, sistem pendidikan tinggi terapan seperti yang dijalankan di Duale Hochschule Baden-Württemberg (DHBW) mempraktikkan model dual system, di mana mahasiswa menjalani setengah masa studinya di industri secara langsung.
Kurikulum mereka dirancang bersama mitra industri, dan hasil belajarnya dinilai oleh dosen serta pembimbing lapangan.
Sementara di Finlandia, universitas terapan seperti Haaga-Helia mewajibkan mahasiswa terlibat dalam proyek-proyek nyata sejak awal studi. Nilai akademik mereka tidak hanya berdasarkan ujian, tapi juga hasil nyata dari proyek bersama perusahaan mitra.
Di Prancis, magang (stage) juga ditempatkan sebagai elemen wajib dalam sistem pendidikan tinggi.
Berbagai Grandes Écoles d’Ingénieur elit, seperti INSA Lyon, École Centrale, hingga Télécom Paris, mewajibkan mahasiswa menjalani tiga jenis magang selama masa studi mereka:
Stage ouvrier (magang dasar), biasanya dilakukan setelah tahun pertama atau kedua, bertujuan mengenalkan mahasiswa pada realitas kerja lapangan dan proses industri.
Stage technique (magang teknis), dilakukan pada pertengahan studi untuk mendalami aplikasi praktis dari keahlian teknik.
Stage de fin d'études (magang akhir studi), dilakukan selama 5–6 bulan, dan menjadi sarana transisi profesional mahasiswa ke dunia kerja.
Setiap magang ini terstruktur dalam kurikulum, memiliki pembimbing dari kampus dan industri, serta diwajibkan membuat laporan yang dinilai secara akademik. Model semacam ini menunjukkan hasil.
Banyak mahasiswa mendapatkan pekerjaan tetap dari perusahaan tempat mereka magang akhir studi.
Studi dari Conférence des Grandes Écoles tahun 2022 mencatat lebih dari 80 persen lulusan écoles d’ingénieurs (perguruan tinggi teknik) direkrut dalam waktu kurang dari dua bulan setelah lulus, sebagian besar berkat relasi dan pengalaman saat magang.
Sementara studi Erasmus+ Impact Study 2023 menunjukkan 30 persen mahasiswa yang menjalani magang terstruktur di Eropa lebih cepat mendapatkan pekerjaan dalam 6 bulan setelah lulus, dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Selain itu, 84 persen perusahaan menyatakan lebih tertarik merekrut lulusan yang memiliki pengalaman magang yang relevan.
Sudah Saatnya Magang Dilembagakan
Di Indonesia, program magang memang telah masuk dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebelumnya.
Namun implementasinya masih menghadapi tantangan besar: keterbatasan mitra industri, kurangnya integrasi dengan kurikulum, serta belum adanya sistem penilaian yang memadai.
Banyak mahasiswa menganggap magang sebagai formalitas, cukup datang, mengisi logbook, dan selesai. Di sisi lain, perusahaan belum sepenuhnya melihat mahasiswa magang sebagai mitra pembelajar, melainkan hanya sebagai tambahan tenaga kerja sementara.
Pengalaman dari Eropa menunjukkan magang yang efektif bukan sekadar menempatkan mahasiswa di perusahaan, melainkan:
1.Dirancang sebagai bagian dari kurikulum inti, lengkap dengan skema kredit, capaian pembelajaran, dan bimbingan dosen.
2.Melibatkan kolaborasi aktif dengan dunia industri, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
3.Dibekali dengan sistem refleksi dan mentoring agar mahasiswa tidak hanya bekerja tetapi juga memahami dan merefleksikan proses belajarnya.
4.Memberi akses yang adil—termasuk dukungan biaya bagi mahasiswa dari kelompok kurang mampu.
Universitas Harus Bergerak Lebih Progresif
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah mulai mengadopsi praktik baik ini.
Cyber University, misalnya, mengembangkan model 3+1, di mana selama satu tahun perkuliahan dijalankan melalui program magang industri terstruktur yang dinamakan Company Learning Program (CLP).
Evaluasi dilakukan pembimbing kampus dan industri, serta diselaraskan dengan capaian pembelajaran program studi.
Namun inisiatif semacam ini masih belum merata. Dibutuhkan komitmen nasional untuk menjadikan magang sebagai komponen wajib dan terukur dalam pendidikan tinggi, bukan hanya pilihan tambahan.
Magang: Laboratorium Dunia Nyata
Saat dunia kerja berubah dengan cepat, kampus tidak lagi cukup hanya mengajarkan teori.
Mahasiswa harus merasakan kompleksitas nyata di lapangan, belajar berkomunikasi lintas disiplin, menghadapi tekanan, dan menciptakan nilai di dunia kerja—semua ini tak cukup diajarkan di ruang kelas, tetapi bisa dibentuk melalui program magang yang dirancang serius.
Magang bukan lagi pelengkap, melainkan menjadi laboratorium dunia nyata tempat mahasiswa menguji pengetahuannya, memahami dinamika organisasi, serta mengembangkan soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan kepemimpinan.
Dalam konteks industri 4.0 dan ekonomi digital, pengalaman magang juga membuka akses pada jejaring profesional, budaya kerja global, hingga peluang inovasi.
Indonesia dapat membangun sistem pendidikan tinggi yang lebih adaptif, kontekstual, dan berorientasi pada masa depan.
Jika kita ingin menghasilkan lulusan yang tidak hanya siap kerja, tetapi juga siap berinovasi, maka integrasi magang secara struktural bukan lagi pilihan, tetapi sebuah keharusan.