REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, menyoroti serius perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya di sektor kelautan dan pekerja migran perempuan, yang dinilai masih jauh dari kata aman dan layak.
Menurut Filep, kasus-kasus PMI non-prosedural yang terlantar di luar negeri hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar yaitu masih lemahnya perlindungan negara dan masih maraknya praktik mafia perekrutan ilegal.
Terlebih, data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebutkan bahwa penempatan PMI terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada periode Januari–Juni 2023 saja, penempatan formal mendominasi 57 persen dari total penempatan, termasuk penempatan di sektor kelautan, baik sebagai awak kapal perikanan maupun niaga.
“Komite III DPD RI memberi perhatian khusus atas masalah ini. Semakin banyaknya PMI harus sejalan dengan perlindungan bagi mereka,” kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Dirinya masih ingat betul temuan Greenpeace dalam laporan ‘Forced Labour at Sea: The Case of Indonesia Migrant Fishers (red, Kerja Paksa di Laut: Kasus Nelayan Migran Indonesia)’.
Di situ dikatakan bahwa ada praktik kerja paksa terhadap Awak Kapal Perikanan (AKP) migran di atas kapal-kapal perikanan asing, seperti penahanan upah sekitar 87 persen, lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan 82 persen, penipuan 80 persen dan penyalahgunaan kerentanan 67 persen.
Tak hanya itu, Komite III DPD RI mencermati laporan tersebut yang menampilkan adanya peningkatan jumlah pengaduan sebanyak 62 kasus kerja paksa yang dilaporkan antara Mei 2019 hingga Juni 2020, naik dari 34 kasus pada Desember 2018 hingga Juli 2019.
Menurutnya, jumlah PMI perempuan juga bertambah, pada 2024 telah mencapai 200.580 orang, atau sekitar 33,60 persen dari total PMI tahun 2024. “Jumlah yang sangat besar ini bukan tanpa masalah,” tutur dia.
Dia menyebut salah satunya adalah kasus perdagangan orang. Temuan kasus Solidaritas Perempuan ada peningkatan tren migrasi non-prosedural di sektor informal sebesar 87 persen.
Data BP2MI menunjukkan 88,4 persen korban perdagangan orang adalah perempuan, dengan 91 persen di antaranya dewasa, mayoritas mengalami eksploitasi kerja paksa 95% dan eksploitasi seksual 5 persen.
Kasus ini juga dikonfirmasi Komnas Perempuan dalam catatan akhir tahun 2024, banyak perempuan pekerja migran yang mengalami kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan fisik sampai kekerasan seksual. Ini kan miris,” katanya.
“Dari data ini, PRT (red, pekerja rumah tangga) lebih rentan mendapatkan kekerasan dibanding lainnya. Semua data itu selayaknya membuka mata kita bahwa secara normatif dan implementatif, belum ada perlindungan hukum yang memadai terhadap pekerja migran Indonesia, baik yang di sektor kelautan maupun perempuan,” ujar dia.
Ketua ADRI Papua Barat itu pun menyinggung urgensi pengawasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 untuk memperluas pelindungan bagi mereka yang bekerja di laut, khususnya bagi para awak kapal niaga dan kapal penangkap ikan.
“Memang benar sudah ada PP Nomor 22/2022. Tapi apakah sudah berjalan optimal? Bahkan Kementerian Pelindungan PMI bersama KKP dikatakan membentuk satuan tugas (satgas) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan para awak kapal. Bagaimana implementasinya? Apa dampaknya? Hal-hal inilah yang perlu menjadi perhatian bersama,” tambahnya.
Filep menegaskan, perlindungan PMI di sektor kelautan masih jauh dari optimal. Banyak pekerja yang menjadi korban kekerasan, eksploitasi, bahkan perdagangan manusia.
Jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan memang tersedia, namun implementasinya di lapangan kerap tidak maksimal, terutama PMI non-prosedural yang tidak tercatat secara resmi.
Dia menjelaskan Komite III memandang perlu dibuat pemetaan data terintegrasi, soal sektor-sektor pekerjaan para migran, terutama yang berisiko tinggi di sektor kelautan ini.
“Jangan hanya berpatokan jumlah PMI yang meningkat, tapi terkesan kurang peduli saat mereka disiksa, ditipu, tidak dibayar, mengalami diskriminasi di negara lain. Negara harus hadir secara nyata,” tambah Filep.
Khususnya, PMI perempuan berada pada posisi rentan, kata dia. Kalau mau jujur, yang paling sering dialami adalah kekerasan berbasis gender yang bisa saja terjadi dari sebelum keberangkatan, transit, di negara penempatan, saat pemulangan dan pulang ke negara asal, juga kondisi kerja dan tantangan yang dihadapi di negara tujuan.
“Suka atau tidak suka cara pandang yang bias gender dimana perempuan tidak diakui sebagai pekerja layak, tidak mendapatkan upah atau diberi upah rendah, tidak memliki jaminan sosial, dan lainnya, semua itu bisa dialami perempuan pekerja migran,” jelas Filep.
Berkaitan dengan itu, Dia mendesak revisi Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2PMI).
Menurutnya, UU saat ini belum cukup melindungi PMI, terutama di sektor kelautan dan pekerja migran perempuan yang sangat rentan terhadap eksploitasi dan tindak kejahatan.
“Jadi UU ini harus direvisi, harus memuat perlindungan HAM, misalnya hak atas upah layak, perlindungan hukum, dan jaminan sosial,” tutur dia.
Di atas itu, perlu dipetakan dalam UU terkait jenis-jenis PMI beserta sektor pekerjaannya secara detail. Selain itu, yang segera diselesaikan adalah penindakan tegas pada mafia perekrut.
“Negara harus berani menindak tegas mafia dan perekrut ilegal, berada di sisi korban, dan tidak menyalahkan korban,” katanya lagi.
Dia menyatakan, perlu ada penyesuaian istilah dan cakupan dalam revisi UU, misalnya istilah awak kapal perikanan migran dan awak kapal niaga migran perlu ditegaskan.
BACA JUGA: Perang India VS Pakistan Memang Berhenti, tetapi Kebencian Terhadap Muslim tak Padam
Selain itu, cakupan pekerja migran diperluas termasuk peserta magang dan pekerja sektor kelautan lainnya, juga terkait perlindungan khusus bagi pekerja migran perempuan. Karena mau kerja ke luar negeri itu hak, bukan taruhan hidup.
“Negara harus hadir, mafia harus diberantas, dan perlindungan PMI harus nyata, bukan hanya di atas kertas,” tutur dia.